Select Menu

Slider

Travel

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing

» »Unlabelled » Buruh dalam Perspektif Islam
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama







Hokum islam tidak hanya mengatur masalah ibadah ritual atau yang dinamakan dengan ibadah mahdhoh¸melainkan juga mengatur masalah hak dan kewajiban di tengah masyarakat, yang dinamakan dengan muamalah. Dalam muamalah diatur berbagai hal, termasuk dalam masalah ‘aqad atau perjanjian, termasuk pada perjanjian kerja. 

Hukum di Indoensia juga memberikan tempat bagi perlindungan buruh. Perjanjian ini penting dilakukan karena, tidak selamanya manusia dapat membuat perjanjian secara sejajar. Ada kalanya kelompok bawah dalam stratifikasi social, tidak dapat berdiri berhadapan dengan pihak majikan. Mereka menerima begitu saja perjanjian yang dibuat oleh pihak majikan. Potensi kecurangan terhadap hak buruh semakin tinggi, hal ini dikarenakan semakin minimnya lowongan pekerjaan. Seseorang, karena tuntutan menghidupi diri dan keluarganya, terpaksa untuk menerima perjanjian sepihak. 

Poerjanjian antara pihak majikan dan buruh haruslah berprinsip pada hal-hal berikut ini
1. kerelaan dari masing-masing pihak.
2. manfaat dari akad harus diketahui secara menyeluruh oleh kedua belah pihak. (biasanya pihak buruh diasingkan dari berapa besar pencapaian mereka dalam kurun waktu tertentu)
3. Objek akad itu harus halal, bukan hal yang haram. (misalnya, dalam perjanjian jual beli miras. Hal ini sudah berada di luar ketentuan syariat)
4. Upah harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta. 

“Kerja” dalam perspektif islam adalah suatu ibadah. Baik itu pekerjaan di bidang perdagangan (perniagaan), jasa, maupun di bidang produksi. Dalam dunia industry, seseorang ditarik untuk bekerjasama dengan pihak lain untuk memproduksi barang maupun untuk membantu proses penjualan. Sehingga, masuk dalam kategori jasa. Sebenarnya pihak pemberi pekerjaan dan pihak yang bekerja berdiri secara setara, karena mereka membutuhkan satu dengan lainnya. Tetapi fakta b erbicara sebaliknya, bahwa seorang pemberi upah lah yang selalu dianggap lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari seseorang memperlakukan pembantunya, dimana sosok pembantu dilihat dengan sudut pandang rendah. seorang anak kecil, diajarkan untuk mencium orang yang lebih tua, tetapi tidak diajarkan untuk mencium tangan pembantunya. 

Dalam memandu hubungan pengusaha dan buruh, Islam memiliki prinsip muswah (kesetaraan) dan ‘adlah (keadilan). Dengan prinsip kesetaraan menempatkan pengusaha dan pekerja pada kedudukan yang sama, yaitu saling membutuhkan. Di satu pihak buruh membutuhkan upah dan di pihak lain pengusaha membutuhkan tenaga, maka pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing didasarkan pada asas kesetaraan. Hubungan manusia dengan manusia adalah sejajar, tetapi tidak demikian dengan hubungan manusia dengan Allah. Derajat kemuliaan manusia tidak bisa dinilai dengan tinggi rendahnya mereka dalam struktur kerja atau dalam hubungan social, tetapi dalam hubungan pribadi mereka kepada Allah. Sebagaimana firman Allah; 

 “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat: 13).

Karena hubungan ini sejajar, maka perjanjian yang ideal antara pihak buruh dan pihak majikan adalah berdiri secara egaliter. Seorang buruh mempunyai fikiran sekaligus skill untuk mempertimbangkan pola perjanjian yang disodorkan kepadanya. Jika tidak, maka pola hubungan produksi antara buruh dan majikan tidak adil. Seorangt buruh harus digaji jauh dari nilai UMR, dan jam bekerja lebih dari 8 jam kerja. Jika buruh sadar akan hak-haknya, ia akan cenderung menolak perjanjian yang telah dulu ia tandatangani. Pembaharuan kontrak kerja sangat penting dalam buruh, untuk mereposisi dirinya sendiri. 

Dalam fiqh muamalah, terkait hubungan kerja ini terdapat konsep ijroh atau penyewaan. Dalam konsep tersebut harus lah terdapat prinsip keseimbangan (balance) antara dua belah pihak. Yaitu pihak majikan (mustajir) yaitu pihak yang member upah, dengan pihak yang diberi upah (mujir). Pihak penyewa mendapatkan keuntungan dari pihak yang disewa (mujir) yaitu dari keringat-keringat mereka. Sedangkan pihak mujir mendapatkan keuntungan dari upah yang mereka terima. Keduanya harus berhubungan secara mutualisme. 

Hak buruh dalam Islam sangat diperhatikan, sebagaimana sabda Nabi; bayarlah buruh sebelum habis keringatnya. Hal ini tidak diartikan secara harfiyah bahwa buruh harus diupah secara harian, yaitu sebelum keringatnya habis. Tetapi harus diartikan sebagai pemenuhan hak-hak buruh secara keseluruhan yang harus secepatnya dibayarkan. Jika tidak, maka kelebihan kerja dari buruh, bisa dianggap perampokan. Misalnya, seorang buruh bekerja selama 9 jam sehari. Dalam rentang waktu itu ia berhasil memproduksi komoditas senilai             100 ribu, sedangkan gajinya hanya 40.000 rata-rata per hari. Majikan harus b erfikir kea rah sini, ia harus jujur berapa besar kontribusinya terhadap usaha, dan ia mendapat bagiannya berapa persen. Semua bagian ini harus disepakati secara sadar tanpa keterpaksaan apapun. 

Apakah prinsip ini mudah diterapkan?  Wallahu A’lam.

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply