Bulan syawal dikenal
orang pada umumnya dengan perayaan Idul Fitri-nya, atau dengan puasa syawalnya.
Sebagian muslim malah mengharapkan akan datangnya 1 syawal, karena mereka sudah
merasa tidak kuat lagi harus menanggung beban puasa sebulan penuh. Bahkan,
makna “kemenangan” di bulan syawal, seolah berganti. Atau peyoratif, yaitu
mengalami pergeseran makna, dari makna positif menjadi makna negatif. Aslinya harus
dimaknai dengan kemenangan seseorang melawan segala hawa nafsu, dan
meningkatkan kadar keimanan selama sebulan penuh, dan disyukuri dengan banyak
mengagungkan Allah dengan bertakbir, memuji Allah dengan bacaan hamdalah atau
mensucikan Allah dengan bacaan tasbih. Berganti makna nya, dengan acara
pemborosan di mall-mall, dengan membeli segala pernak-perniknya. Seolah Idul
Fitri menghalalkan hedonisme.
Banyak orang yang belum
tahu makna apa yang terkandung dalam kata “syawal”, karena ini tidak ditemukan
dalam kosa kata bahasa Arab. Menurut sebagian ulama, kata syawal ini berasal
dari kata syalat yang artinya ‘mengangkat’,
yaitu tingkah laku onta betina ketika
menolak pejantan untuk kawin. Sehingga orang arab jahiliyyah, pada zaman dulu,
tidak diperkenankan untuk menikah di bulan ini. Ketika rasulullah datang, maka
rasul mengganti kebiasaan tersebut, dengan menganjurkan untuk menikah di bulan
syawal.
Pada umumnya masyarakat
muslim Indonesia mempercayai bahwa bulan sesudah Romadhon adalah ‘musim nikah’.
Karena ini adalah sunnah Nabi, kedua karena praktis. Sebagaimana diketahui,
selama romadhon, sulit bagi seorang individu untuk menikahkan putra dan
putrinya di bulan romadhon, dan melakukan walimahan di bulan tersebut. Karena dalam
acara pernikahan, dalam agama juga dianjurkan untuk menjamu banyak orang. Dan hal
ini sudah tentu tidak bisa dilaksanakan bagi seorang muslim. Maka, mereka ‘menunda’nya
di bulan berikut nya yaitu di bulan syawal.
Rasulullah sendiri
menikah dengan Siti Aisyah ketika bulan syawal, sebagaimana penuturan Siti
Aisyah :, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawal, dan beliau tinggal satu
rumah denganku juga di bulan Syawal. Siapakah diantara istri beliau yang lebih
beruntung dari pada aku.” (HR. Ahmad & Muslim). Hal ini jelas membantah
kebiasaan orang jahiliyah di masa lampau tentnag ketidakbolehan seseorang
menikah di bulan tersebut.
Orang arab pada waktu lampau menolak menikah di bulan ini karena
diyakini sebagai bulan sial. Sama seperti sebagian orang Jawa, yang menolak
untuk mengadakan acara besar di bulan Muharram (atau dalam penanggalan Jawa
disebut dengan bulan Suro). Mereka meyakini bulan Suro sebagai bulan keramat,
jika mengadakan acara di bulan ini dalam bentuk apapun, termasuk pernikahan,
maka dapat mendatangkan malapetaka. Padahal sama seperti bulan Syawal, bulan
Muharram pun juga diperbolehkan seseorang untuk melangsungkan pernikahan dan
walimahan.
Tidak ada komentar