Membahagiakan Orang Tua
Membahagiakan
Orang Tua adalah salah satu kewajiban tiap individu dari kaum muslimin, atau fardhu ‘ain. Dalam istilah agama Islam,
sering disebut dengan birrul walidaini.
Perintah untuk memperlakukan baik terhadap orang tua disebut 13 kali dalam ayat
al Qur’an. Salah satunya dalam Surat Al Isra’; 23
Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia (QS An Isra’ : 23)
Ayat di atas mendudukkan antara
perintah menyembah kepada Allah dan berbuat baik terhadap orang tua secara
sejajar. Betapa tinggi posisi menghormati Orangtua dalam Islam. Bahkan dalam
suatu hadits dikatakan “ridho-allahi
ridho al walidaini” (Ridho Allah adalah Ridho kedua orangtua, HR.
Tirmidzi).
Dalam ayat di atas (Al Isra’ :
23) , membahagiakan orangtua tidak hanya secara materi belaka. Atau sekedar
bertanggungjawab secara ekonomi jika orangtua telah berusia lanjut dalam
pemeliharaan kita, melainkan harus bertanggungjawab secara moril.
Dalam ayat di atas, tidak boleh
mengatakan ‘uf’, atau dalam bahasa Indonesia, seperti ‘ah’ atau lebih kasar
lagi ‘hus’. Banyak orang yang merasa cukup jika mereka telah ‘mengirim uang’
kepada orang tuanya, tetapi bersikap tak acuh kepadanya. Mereka tak segan-segan
mengatur-atur orangtuanya agar manut, karena merasa orangtuanya sudah berada
dalam pemeliharaannya. Menjaga ‘hati’ orangtua sangat ditekankan dalam ayat di
atas.
Ada tiga kalimat dalam ayat di
atas, dimana seorang anak harus menjaga keseimbangan moral orangtuanya ketika
mereka sudah lanjut usia. Seperti;
a)
Fa laa taqul lahumaa ‘ufin’ , tidak boleh berkata ‘hus’/ ‘ah’
atau perkataan lain yang dapat menyakitkan hatinya.
b)
wa laa tanhar humaa, dan jangan membentak keduanya,
c)
wa quuluu qaulan kariimaa, dan berkatalah dengan perkataan mulia/lemah
lembut.
Ini lah beberapa adab seorang
anak terhadap orangtua, selain kewajiban mereka untuk memelihara orangtua, jika
seorang anak itu sudah tumbuh dewasa, dan orangtua sudah dalam keadaan ‘uzur. Membahagiakan orangtua dalam
Islam bukan berarti mengajak mereka untuk piknik ke tempat rekreasi yang mereka
sukai. Tetapi pada kebahagiaan yang bersifat lebih hakiki.
Perintah membahagiakan orangtua
ditujukan kepada seorang anak, baik lelaki maupun perempuan. Tetapi bagi
perempuan yang sudah bersuami, harus minta izin terlebih dahulu kepada
suaminya, jika ingin memelihara orangtuanya. (Karena status suami dalam
keluarga adalah sebagai Imam).
Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil".(Al Isra’: 24)
Maksud dari ‘rendahkan dirimu’
itu adalah penghormatan yang diberikan kepada orangtua. Baik dengan sikap
lahir, sikap batin, dan , tuturan. Tiap tradisi mempunyai cara tersendiri untuk
menghormati orangtua. Orang Jawa biasanya menggunakan ‘krama inggil’ untuk menghormati orangtua, sedangkan orang Asia
Timur (jepang) dengan cara membungkukkan badan.
Sedangkan untuk orang Barat, cukup memanggilnya dengan sebutan ‘Ibu’ (Mom) atau ‘Ayah’ (Dad). Sebutan tersebut cukup sopan, karena dalam kultur Barat,
mereka biasa memanggil orang yang lebih tua dengan nama langsung. Itu adalah
bentuk sikap ‘janakha azh zhulli’
sebagaimana dimaksudkan dalam ayat diatas. Ayat di atas ditutup dengan
perintah untuk mendoakan orangtua.
Kedua ayat di atas adalah
perintah yang diberikan kepada si ‘anak’. Pertanyaannya, kenapa tidak ada
perintah orangtua untuk menghormati si anak? Menurut Sayyid Quthb, orangtua
tidak perlu diberikan nasehat untuk berbuat baik kepada anak. Adalah naluri
orangtua untuk berbuat baik kepada anak-anaknya. Bahkan, secara naluriah pula
ia dapat menyayangi anak dari anaknya (cucunya).
Kedua ayat di atas (al Isra’
23-24) juga tuntutan berbakti tidak hanya kepada Ibu, melainkan pada kedua
orangtua kita. Dapat dilhat pemakaian kata ‘walidaini’
yang artinya kedua orangtua. Tetapi, ada beberapa ayat yang menyebutkan
keunggulan/kelebihan ibu, seperti dalam ayat berikut;
Dan
Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
Ayat di atas pada umumnya adalah
berisi wasiat untuk berbuat baik kepada orangtua, khususnya ‘ibu’. Ibu lah yang
telah mengandung dan menyapih selama 2 tahun. Ukuran 2 tahun dalam ayat
tersebut adalah ‘selambat-lambat’nya
seorang ibu menyapih anaknya. Penyapihan berbeda-beda antara seorang ibu dengan
ibu lainnya, rata-rata antara 1-2 tahun. Meski ayat di atas mengkhususkan
penghormatan terhadap ibu, tetapi secara ‘am
atau keumuman adalah penghomatan
kepada keduanya. Jadi tidak boleh dipahami, hanya seorang ibu yang berhak untuk
dihormati, sedangkan ayah tidak.
Kekhususan perlakuan anak kepada
ibunya, karena ‘wali’ seorang anak
itu ada pada diri ibu. Dalam sebuah hadits di katakan bahwa ‘surga itu terletak
di kaki seorang ibu’, untuk menunjukkan keharusan hormat seorang anak terhadap
ibunya. Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan ;
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau
berkata:, “Seseorang datang kepada
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan,
berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah
aku harus berbakti pertama kali?’
Nabi menjawab, ‘Ibumu!’
Dan orang
tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’
Nabi menjawab, ‘Ibumu!’
Orang
tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’
Beliau
menjawab, ‘Ibumu.’
Orang
tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’
Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'”
(HR. Bukhari
& Muslim).
Penghormatan terhadap orangtua
sepadan, bahkan lebih baik daripada berjihad (dalam artian ‘perang’ fisik mempertahankan
agama Allah). Dalam Ajaran Islam, perang melawan nafsu disebut dengan Jihad Akbar (Jihad Terbesar),
sedangkan jihad secara fisik, adalah Jihad
Ashghor (Jihad kecil). Karena bagaimana pun, pembentukan karakter seorang
mu’min adalah tujuan sedangkan jihad
fisik hanya sarana semata.
Suatu ketika datang seorang
kepada Rasulullah, beliau ingin berjihad tetapi tidak mampu. Kemudian Nabi
bertanya; “Apakah orangtua kamu masih
hidup?”, kemudian dijawab : “ Ibu
saya masih hidup”, Lalu Nabi bersabda; “temuilah
orangtuamu dan berbakti kepadanya., karena perbuatan demikian, sama seperti
pahala haji, umrah dan jihad, (HR Thabrani).
Wahai rasulullah, saya ingin
(berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada
anda. Maka S.A.W bersabda: “Apakah kamu
masih memiliki Ibu?”. Berkata dia: “Ya”. Bersabda S.A.W: “Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga
itu dibawah telapak kakinya” (HR Nasa’I & Ahmad).
Dalam hadits-hadits di atas,
manfaat berbuat baik kepada orangtua, tidak hanya mendatangkan ridha Allah,
dimana pahalanya setara dengan ibadah haji dan jihad di jalan Allah, melainkan
dapat pula memberi kafarah, bagi
dosa-dosa sebelumnya.
Pada hadits sejenis juga
dinyatakan hal yang hamper sama. Seorang laki-laki yang datang kepada
Rasulullah, orang yang mengaku berdosa besar, apakah ada pintu taubat baginya.
Kemudian Rasulullah bertanya, “apakah
ibumu masih ada?”, kemudian dijawab : Tidak.
Lalu rasul bertanya kembali, “kalau
bibimu masih ada?”, dijawab “Ya”, lalu rasulullah bersabda; “berbuat baiklah padanya”. (HR Tirmidzi)
Hadits di atas, seperti
hadits-hadits lainnya, yaitu memberikan keringanan dan kesempatan kepada
seseorang untuk tetap melakukan ibadah dalam menghormati orangtua, seperti
dalam sholat, jika tak dapat berdiri, diperbolehkan duduk, jika tak dapat
duduk, diperbolehkan berbaring. Jika, tak diberi kesempatan berbuat baik kepada
ibu, maka ia dapat diberikan kesempatan untuk berbuat baik kepada bibinya.
Juga hadits serupa dimana seorang
anak yang tak diberikan kesempatan untuk berbakti kepada orangtuanya yang telah
meninggal dunia, maka ia diperkenankan untuk bersedekah , dimana pahalanya
ditujukan kepada orangtuanya.
“Dari
‘Aisyah ra bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW: “Ibu saya
mati mendadak, dan saya yakin seandainya dia bisa bicara, dia bersedekah,
apakah ibu saya mendapat pahala, seandainya saya bersedekah untuk ibu saya?
Rasulullah menjawab, “ya ada pahala bagi ibumu.”(HR Bukhari dan
Muslim).
Si Anak yang bersedekah, tidak
lah memperoleh pahala dari sedekah yang ia lakukan, tetapi si anak memperoleh
pahala dari niat dan perbuatannya dalam menghormati kedua orangtuanya yang
telah meninggal dunia.
Perintah menghormati orangtua,
bukan hanya perintah yang diberikan oleh umat Nabi Muhammad Saw semata.
Nabi-nabi sebelumnya juga memerintahkan hal yang sama, yaitu menghormati kedua
orangtuanya.
Nabi Ibrahim berdo’a:
Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu
bapaku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari
kiamat)".(Ibrahim :
41)
Nabi
Nuh berdoa;
Ya
Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman
dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau
tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan". (Nuuh: 28)
Perintah untuk menghormati
orangtua tidak hanya berlaku pada orangtua yang sesama mukmin, melainkan juga
orangtua yang berbeda iman sekalipun. Bahkan, jika orangtua memerintahkan untuk
berbuat syirik, maka kita wajib menolak, tetapi harus disertai perkataan yang
lembut, dan harus tetap mempergauli orangtua secara baik.
Firman Allah dalam Surat Luqman: 15
Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
(Luqman: 15)
Jadi
kita hendaknya tetap menaati perintah orangtua, kecuali jika perintah tersebut
menyalahi ketentuan Allah. Meski demikian tetap harus menggunakan adab. Banyak
orang di sekitar kita, dimana anaknya rajin sembahyang, tetapi orangtua masih
terlarut dalam dosa (mabuk-mabukan, perbuatan syirik, zina, judi, dst).
Cara
menasehatinya pun harus pula dengan adab. Hal ini dapat dilihat dari adab Nabi
Ibrahim as terhadap ayahnya. Al Qur’an Surat Maryam 46-47, menggambarkan begitu
santunnya Nabi Ibrahim kepada ayahnya yang penyembah berhala;
Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai
Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan
tinggalkanlah aku buat waktu yang lama".
Berkata
Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan
ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (Maryam 46-47)
Kesimpulannya adalah, kita diwajibkan memelihara
kedua orangtua kita jika kelak mereka sudah tidak mampu lagi. Selama merawat
orangtua, jangan sekali-kali kita bersikap sombong/pongah terhadap mereka,
dikarenakan lemahnya posisi mereka di hadapan kita.
Tidak ada komentar