Nabi Musa as
merupakan salah satu dari banyak rasul Allah yang diutus kepada Bangsa Israel.
Permulaan bangsa Israel tumbuh dari sebuah keluarga Ya’qub, yang beranak-pinak
di Mesir hingga banyak, dari masa Yususf as, hingga zaman Nabi Musa as. Tetapi
berbeda pada awal mula pertama kali mereka di Mesir, yakni di masa Yusuf as,
mereka mendapatkan kehidupan yang layak. Tetapi pada masa sebelum
dibangkitkannya Nabi Musa, keadaan bangsa Israil tertindas oleh bangsa Mesir,
sebagian besar dari mereka hidup sebagai budak.
Zaman
tersebut Mesir diperintah oleh Fir’aun, sebagai penguasa tertinggi, tidak hanya
berkuasa dalam wilayah kekuasaan material belaka, melainkan juga sebagai tampuk
tertinggi kepercayaan. Perintah Fir’aun
adalah perintah tertinggi, dan rakyat diperintahkan secara lalim. Hal ini dapat
dilihat dari peninggalan-peninggalan mesir. Meski piramida dan Spink disebut
sebagai salah satu keajaiban bangunan di dunia, tetapi hal ini menyisakan
pertanyaan, seberapa banyak rakyat mesir termasuk dari Bani Israil yang
menderita, karena dipaksa membuat bangunan yg sangat besar tersebut.
Surat al
Qashash ayat 4 memperlihatkan bagaimana kezaliman Fir’aun terhadap orang-orang
dari Bani Israil di Mesir waktu itu;
Sungguh, Fir'aun telah berbuat
sewenang-wenang di bumi (Mesir) dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dia
menindas segolongan dari mereka, dia menyembelih anak laki-laki mereka[6] dan
membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sungguh, dia (Fir'aun) termasuk orang
yang berbuat kerusakan
Ayat di atas
menggambarkan bahwa Fir’aun membunuh anak lelaki mereka dengan disembelih,
karena khawatir jumlah Bani Israil (anak keturunan Nabi Ya’qub) akan semakin
berkembang dan menguasai kerajaan. Pada
saat ini lah, Allah akan mengirimkan bagi Bani Israil seorang yang kelak akan menjadi
pemimpin mereka, yakni Nabi Musa as.
Dan Kami hendak memberi karunia kepada
orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka
pemimpin, dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), (al Qashash
ayat 5)
Kebenaran
akan ada seorang pemimpin kelompok Bani Israil tersebut, juga telah diramalkan
oleh para dukun-dukun Istana Fir’aun. Mereka meramalkan bahwa akan lahir bayi
dari Bani Israil yang akan menjadi sebab kehancuran Fir’aun waktu itu (menurut
sejarawan bernama Ramses II). Karena kekhawatiran terbesar Fir’aun adalah
kebangkitan Bani Israil, yang semakin lama semakin meningkat jumlahnya, dengan
keyakinan yang berbeda dengan keyakinan yang dianut oleh bangsa Mesir. Hal ini
secara politik, menakutkan bagi penguasa (Fir;aun) waktu itu.
Kekhawatiran
tersebut dapat dilihat dari al Qashash ayat ke 6, sebagaimana berikut ini;
Dan Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi
dan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta bala tentaranya apa yang
selalu mereka khawatirkan dari mereka.
Masa
terjadinya pembunuhan terhadap anak-anak lelaki dari bani Israil tersebut,
membuat keluarga Musa cemas. Dalam kondisi ini lah, Allah memerintahkan mereka
untuk menghanyutkan Nabi Musa, waktu itu masih bayi, ke Sungai Nil, sebuah
sungai sangat luas (lebar), yang melewati pusat pemerintahan firaun.
Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa,
"Susuilah dia (Musa), dan apabila engkau khawatir terhadapnya maka
hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah engkau khawatir dan jangan
(pula) bersedih hati, sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan
menjadikannya (salah seorang) rasul. (al Qashash; 7)
Anak bayi
yang dihanyutkan dalam peti tersebut dilihat oleh para abdi kerajaan Firaun,
lalu diserahkan ke pihak istana. Istri Fir’aun, sebagai seorang wanita,
tersentuh hatinya, karena selain merasa kasihan bayi tersebut dilihatnya sangat
menggemaskan, sehingga ia melarang para abdinya untuk membunuhnya. Karena
mereka tahu, bahwa secara fisik, bayi tersebut adalah bayi keturunan Bani
Israil yang berbeda dengan kondisi fisik dengan mereka.
Dan istri Fir'aun berkata, "(Dia) adalah
penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan
dia bermanfaat kepada kita atau kita ambil dia menjadi anak[22],” sedang mereka
tidak menyadari (al Qashash ; 9)
Kondisi
terbalik dengan keadaan Ibunda Nabi Musa. Setelah menghanyutkan Nabi Musa,
hatinya merasa kosong, tetapi pada akhirnya ia mengetahui bahwa anaknya, sudah
dipungut oleh pihak istana dan dijadikan sebagai anak angkat mereka. Tetapi,
ibu Nabi Musa merahasiakannya, karena takut jika rahasia terbongkar, maka pihak
keluarganya akan terjepit. Di sisi lainnya, naluri seorang ibu, mengatakan
bahwa ia harus terus menerus mengawasi anaknya, maka ia menyuruh, anak
perempuannya (kakak Nabi Musa) untuk terus mengawasi dari kejauhan perkembangan
adiknya.
Dan dia (ibu Musa) berkata kepada saudara
perempuan Musa, "Ikutilah dia (Musa)." Maka kelihatan olehnya (Musa)
dari jauh, sedang mereka tidak menyadarinya (al Qashash: 11)
Pada
akhirnya, sang anak (Nabi Musa) kembali lagi ke pangkuan ibunya, meski dengan
identitas sebagai ibu kandungnya tak ia bongkar.
. Maka Kami kembalikan dia (Musa) kepada
ibunya, agar senang hatinya dan tidak bersedih hati dan agar dia mengetahui
bahwa janji Allah adalah benar, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya –
al Qashash: 13
Kisah
dikembalikannya Nabi Musa kepada ibu kandungnya tidak lah terjadi begitu saja.
Ketika saudarinya melihat adiknya, maka ia berkata kepada para abdi Fir’aun
yang tengah merawatnya; , “Maukah kamu aku tunjukkan keluarga yang akan
memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?". Maka
saudarinya pun mengarahkannya untuk dirawat oleh ibu kandungnya sendiri, yakni
ibu kandung dari si anak tadi. Ketika dalam masa pemeliharaan ibunya, istri
Fir’aun sering mengirim upah disamping nafkah dan pemberian-pemberian lainnya
kepada ibunda Nabi Musa as.
Penyusuan
dari ibu kandungnya selesai, maka Musa dikembalikan ke pihak istana. Dengan
kebutuhan gizi dan pendidikan terpenuhi, maka Musa tumbuh dewasa dan sempurna
akalnya (kecerdasan), dianugerahi pula kesalehan dan wawasan pengetahuan. Dari
basis ini lah modal kepemimpinannya mulai terbentuk. Kepemimpinannya atas
kaumnya, diawali dari sebuah moment, yaitu;
Ketika Nabi
Musa masuk ke keramaian kota di luar istana, ia mendapati dua orang berkelahi,
yang seorang dari bani Israil dan seorang lagi dari kaum fir’aun (bangsa
mesir). Orang yang dari bani Israil meminta pertolongan kepadanya. Lalu
terjadilah perkelahian antara musa dan golongan fir’aun tersebut, yang membuat
orang tersebut tewas. Setelah kejadian, Nabi Musa merasa kecewa, sedih, dan
merasa bersalah. Beliau berjanji tidak
akan menolong seorang pun di atas maksiat atau tidak akan menolong orang yang
bersalah. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat yang diberikan menghendaki agar
seorang hamba mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan.
Dia (Musa) berdoa, "Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah menzalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku.” Maka
Allah mengampuninya. Sungguh, Allah, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Dia (Musa) berkata, "Ya Tuhanku,
oleh karena nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku maka aku tidak akan
menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.”
(al Qashash : 16-17)
Orang
dari Bani Israil yang kemarin meminta pertolongan darinya, tiba-tiba berteriak
meminta pertolognan kembali kepadanya. Kemudian Nabi Musa menghardiknya dan
marah terhadapnya, karena menganggap orang tersebut seperti mempermainkannya.
Ketika Nabi Musa hendak memukulnya, maka orang tersebut berkata;
"Wahai Musa! Apakah engkau bermaksud
membunuhku, sebagaimana kemarin engkau membunuh seseorang? Engkau hanya
bermaksud menjadi orang yang berbuat sewenang-wenang di negeri (ini), dan
engkau tidak bermaksud menjadi salah seorang dari orang-orang yang mengadakan
perdamaian”(al Qashash: 19)
Maka
berita pembunuhan terhadap orang Qibti oleh seorang dari Bani Israil ini
tersebar, hingga menyebabkan para pembesar di negeri Mesir berunding untuk
memberi hukuman apa yang setimpal kepada Musa terhadap apa yang sudah
dilakukannya. Ketika Nabi Musa diberitahu, maka keluarlah ia dari dalam kota
tersebut, lalu menuju Madyan.
Sesampainya
di Negeri Madyan, ia menjumpai sekumpulan orang yang memberikan makanan ternak.
Diantara rombongan pemberi minum ternak, terdapat dua orang perempuan, yang
menunggu para penggembala lainnya memulangkan ternak. Mereka terpaksa
menggembalakan ternak, karena ayahnya seorang yang sangat lanjut usia. Maka
Nabi Musa memberikan pertolongan kepada keduanya, dan mengantarkan pulang ke
rumahnya.
Ayah
kedua perempuan tersebut mengetahui bahwa kedua anak perempuannya ditolong oleh
seorang pemuda, lantas mengundang si pemuda (Nabi Musa) untuk datang kepadanya,
dan menceritakan ihwal perjalanannya dari kota Memphis sampai bertemu kedua
anak perempuannya tersebut. Salah seorang anak perempuan tersebut mengusulkan
bahwa Nabi Musa hendaknya dijadikan pekerja, karena ia orang yang kuat dan
dirasa dapat dipercaya.
Ayah
kedua perempuan tersebut (banyak dari para mufassirin yang menyebut nama dari kedua perempuan tersebut adalah
Nabi Syu’aib), berfikir lain. Ia hendak menikahkan salah seorang dari dua anak
perempuannya kepada Nabi Musa, dengan ketentuan Musa bekerja padanya selama 8
tahun atau lebih. Maka Nabi Musa pun menyanggupinya.
Setelah masa
pengabdian kepada mertuanya selesai, yakni selama sekitar 10 tahun, Nabi Musa
pulang ke Mesir dan menerima wahyu Allah. Ketika dalam perjalanan meunu mesir,
ia dan keluarganya melihat api di lereng gunung. Nabi musa segera menuju
kesana, hendak mengambil api, untuk kebutuhan menghangatkan badan. Ketika akan
sampai ke tempat api, ia mendengar suara dari sebelah lembah, yang
memerintahkan Musa untuk melemparkan tongkatnya. Ketika Nabi Musa
melemparkannya, berubahlah ia menjadi ular. Dan itu lah yang kelak akan menjadi
Mukjizat Nabi Musa.
Ketika itu
Nabi Musa diangkat oleh Allah menjadi rasulnya, untuk menemui Fir’aun. Lalu
Musa meminta kepada Allah untuk diperbantukan oleh Harun, saudaranya. Karena ia
lebih pintar dalam berbicarara, maka Allah menyanggupinya, bahwa Nabi Harun
akan menyertainya dan meneguhkannya. Ketika Musa dan Harun sudah bersama, Allah
berfirman kepada keduanya;
"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut."
(QS. Thaha: 43-44)
Mendengar
seruan dari Nabi Musa as, Fir’aun dan bala tentaranya berlaku sombong. Fir’aun
berkata kepada kaumnya;
“Wahai para pembesar kaumku! Aku tdiak
mengetahui ada Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarkanlah tanah liat untukku
wahai Haman (untuk membuat batu bata), kemudian buatkan lah bangunan yang
tinggi untukku agar aku dapat naik melihat Tuhannya Musa, dan aku yakin bahwa
ia adalah termasuk orang pendusta” (al Qoshosh; 38)
Kemudian
dalam Surat Thaha ayat 45-55, al Qur’an menjelaskan percakapan antara Nabi Musa
dengan Fir’aun secara lebih detail. Musa bercerita tentang Allah, rahmat yang
diberikan kepada makhluk-makhluknya, tentang kewajiban makhluk terhadapnya,
siksaan yang akan diberikan bagi orang yang membangkangnya, menceritakan
tentang kaum-kaum terdahulu.
Nabi Musa
datang kembali ke istana Fir’aun pada hari yang disepakati, yaitu pada hari
raya dan waktu dhuha. Fir’aun beserta para dukunnya mengatur tipu daya. Para
dukun berbisik kepada Fir’aun, bahwa kedua orang di hadapannya (Musa dan Harun)
adalah dua orang yang akan mengusir Fir’aun dari negerinya sendiri. Kemudian
mereka menantang musa untuk adu kekuatan dengan sihir yang mereka miliki. Tiba-tiba
tongkat mereka menjadi ular. Lalu, nabi Musa melemparkan tongkat miliknya, yang
kmudian menjadi ular, dan memakan ular-ular dari tongkat para dukun fir’aun.
Nabi Musa
kembali kepada kaumnya, Bani Israil, kemudian Allah mewahyukan kepada Nabi Musa
untuk membawa mereka di pinggir laut.
“Pergilah bersama hamba-hambaku (Bani Israil)
pada malam hari, dan pukul lah (buatlah) untuk mereka jalan yang kering di laut
itu. Engkau tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir akan
tenggelam” ((Thaha: 77)
Kemudian
tentara-tentara Fir’aun mengejar mereka, tetapi mereka terguung ombak laut yang
menenggelamkan mereka.
Tidak ada komentar