Pada zaman
jahiliyyah, anak hanya dianggap sebagai ‘investasi’ masa depan, terutama jika
anak tersebut adalah anak lelaki. Sebaliknya, jika anak perempuan, maka hanya
dianggap sampah. Anak dihadirkan, sebagai amanah yang diberikan langsung dari
Allah, sehingga apapun jenisnya anak, seseorang itu meski menerimanya, entah
itu lelaki, perempuan bahkan cacat sekalipun. Karena bagaimanapun juga, yang
menentukan apa jadinya si anak tersebut adalah Allah semata.
Dalam Surat
Asy Syura 49-50, Allah berfirman;
“Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan
bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan perempuan kepada
siapa yang Dia Kehendaki, dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia
Kehendaki, atau dia anugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan kepada
siapa yang dikehendakinya. Dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.
Ayat tersebut turun untuk mencela perilaku
orang jahiliyah yang merendahkan derajat sebagian anak-anak, (yakni anak
perempuan). Ayat tersebut menggambarkan, bagaimanapun juga keadaan perihal
keturunan, adalah murni ketentuan Allah, sehingga secara implisit menekankan
sikap yang adil, baik itu terhadap anak lelaki maupun anak perempuan.
Peran
orangtua terhadap anak-anaknya sangat penting dalam mendidik anak dan membentuk
karakternya untuk menentukan masa depan si anak. Sebagaimana dalam Sahih
Bukhari, Nabi Muhammad Saw bersabda: “Setiap
anak yang dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orangtuanya lah yang
menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Hadits ini menekankan
bahwa pendidikan yang diberikan orangtua kepada anaknya sangat berperan
penting. Baik itu berperan secara positif maupun berperan secara negatif. Dalam
Islam, seorang anak itu suci dari dosa, tetapi tergantung bagaimana orangtua
mendidiknya. Apakah mereka akan tetap menjaga kefitrahan seorang anak, dengan
membimbingnya dengan baik, ataukah memberikan contoh-contoh yang buruk,
sehingga si anak mengikuti kelakuan orangtuanya.
Perhatian
Islam terhadap anak adalah sangat besar, bahkan dalam Islam, seorang calon ayah
dianjurkan untuk memilih calon ibu bagi anaknya dipilih berdasarkan kualitas.
Karena mereka lah kelak yang akan menurunkan gen dan gemblengan bagi si anak.
Konsep islam
dalam membahagiakan anak itu memang berbeda dengan cara umumnya. Si anak
dibiarkan untuk bergembira, tanpa ditanamkan nilai-nilai. Dalam konsep
pendidikan anak Barat, Seorang anak dibiarkan menikmati dunianya, ketika remaja
dibebaskan pergaulannya, ketika dewasa mereka bebas menentukan pilihannya
bagaimana sikap etika yang mereka ambil bebas dari batasan-batasan yagn
diberikan oleh kepada mereka. Dalam Islam, orangtua punya tanggungjawab untuk
mengarahkan anak pada tindakan yang selaras dengan agama Islam. Sehingga
pendidikan agama sangat penting diajarkan sejak usia dini. Misalnya, dengan
mengajak mereka pergi ke masjid bersama-sama.
. Cara
membahagiakan si anak bukan lah dengan membiarkan mereka terus menerus bermain,
atau menuruti apapun keinginan mereka. Seorang anak yang dibesarkan dalam
kemanjaan, ia tidak akan mandiri dan disiplin. artinya, orangtua jangan lah
terlena untuk selalu memanjakan si anak. Mereka harus digembleng pengabdian
kepada Allah, sejak masa kecilnya. Dalam ayat al Qur’an disebutkan “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka”.
Orangtua
mencintai anak dan istrinya sangat penting, tetapi jangan sampai jatuh pada
romantisisme. Yaitu menempatkan perasaan cinta pada hal paling utama dan
melebihi apapun, termasuk kecintaan kepada Allah. Hanya karena seorang suami
cinta kepada anak dan istrinya, dia membiarkan apapun yang dilakukan anak dan
istrinya, termasuk dalam melanggar perintah Allah, dan menganggap rendah
pendidikan (tarbiyah) yang diberikan suami kepada istri dan anak-anaknya. Hal
ini seringkali terjadi, dimana ketaatan seorang suami kepada Allah, harus
dikorbankan demi menyenangkan anak-anaknya (atau istrinya). Dalam hal ini,
Allah telah mewanti-wanti;
“Hai Orang-orang yang beriman, sesungguhnya
diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hati lah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak
memarahi, atau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang” (At Taghabuun: 14).
Pemahaman di
atas, bukan berarti orangtua mendidik dengan cara otoriter dan ‘semau gue’. Orangtua harus memperhatikan
rambu-rambu. Pendidikan kepada si anak, harus dilandasi dengan sikap kasih
sayang orangtua kepada anak, ikhlas karena Allah semata. Sikap penanaman
disiplin tanpa disertai sikap mahabbah
(perasaan cinta), hanya menghasilkan pola militeristik tak logis.
Seorang ayah
tak boleh bersikap keras kepada si anak atau mengujinya dengan ujian yang
sangat memberatkan si anak. Si ayah membentak-bentak si anak hanya karena si
anak tidak mencium tangannya, atau menyediakan minuman baginya. Fithrah orangtua adalah sebagai pengayom
kepada anak-anaknya. Cara pendidikan terbaik adalah memberikan keteladanan bagi
si anak, sehingga proses edukasi terhadap si anak, harus dimulai terlebih
dahulu dimulai dari edukasi terhadap dirinya sendiri, terutama proses
pendidikan keagamaannya.
Pendidikan
keagamaan sangat penting diberikan kepada si anak. Karena jika terlambat
diberikan, maka kelak akan sulit memberikan ketika sudah dewasa. Padahal sudah
menjadi hak anak untuk diberikan pengajaran agama sedari dini oleh orangtuanya,
sebagaimana sabda Rasul “Hak anak yang
harus dituanikan oleh orangtuanya meliputi 3 hal; memilihkan nama yang baik
ketika baru lahir, mengajarkan al Qur’an ketika mulai bisa berfikir, dan
menikahkan ketika mulai dewasa (HR Ahmad).
Proses
pendidikan di atas tidak lah kaku, orangtua perlu memberikan hadiah,
kesenangan, kemanjaan, asal tidak melalaikan tugasnya dalam hal mendidik si
anak untuk mengenal Allah dan nilai-nilai Islam. Karena menunjukkan Rasa kasih
sayang orangtua kepada si anak, dapat mendatangkan kaffarah bagi orangtua, terhadap kesalahan dan dosa-dosa yang telah
ia lakukan.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa seorang
lelaki mendatangi Rasulullah, berharap rasul memohonkan ampunan kepada Allah
terhadap dosa yang telah ia lakukan. Ketika rasulullah bertanya kepada orang
tersebut, ia mengaku malu menyebut perbuatannya di depan rasul. Maka rasul pun
berkata; “mengapa engkau malu mengatakan kepadaku tentang maksiat yang telah
kau lakukan, sementara engkau tidak merasa malu kepada Allah ketika
melakukannya. Padahal Allah Maha Mengetahui atas Segala Sesuatu”. Mendengar
ucapan Rasulullah, lelaki itu keluar dan hatinya diliputi perasaan sedih dan
putus asa.
Lalu
Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah, dan berkata , “Hai Muhammad, mengapa engkau membuat seseorang yang berdosa berputus
asa. Padahal dia memiliki amal yang dapat menghapus dosa, sekalipun maksiat
yang dilakukannya sangat berat”. Lalu rasul bertanya tentang amal apa yang
telah dilakukan orang tersebut hingga dapat menghapus dosanya.
Jibril
menjawab, “Dia memiliki anak yang masih
kecil. Setiap kali dia pulang ke rumah, langsung menemui anaknya dan memberikan
sesuatu kepadanya, hingga anak itu merasa gembira. Yang demikian itu adalah
penebus dosa yang mahal harganya.”
Inilah ajaran
Islam terhadap anak, di satu sisi orangtua tertuntut untuk mendidik dirinya
sendiri, memberikan hak-hak si anak, seperti memberi nama, aqiqah, mengajarkan
al Qur’an, menyuruh sholat, di sisi lainnya orangtua harus memperlihatkan rasa
kasih sayangnya kepada anak, mengajarkan
anak untuk bertanggungjawab dan menyediakan bekal ketika anak kelak menjadi
dewasa.
Tidak ada komentar