Select Menu

Slider

Travel

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing






Ketika kita sholat, ada salah satu rukun sholat yang tak boleh kita lewatkan, yaitu bersholawat kepada Nabi Muhammad. Namanya banyak dikenal tidak hanya dalam agama Islam, melainkan juga oleh Yahudi dan Nasrani. Nabi Ibrahim dalam Islam adalah salah satu Nabi Ulil Azmi, seorang Nabi yang punya maqom di sisi Allah, dan mendapat gelar sebagai Khalilullah.

Dari Nabi Ibrahim ini kota Mekkah pada mulanya berdiri, yaitu dari Istri dan anak-anaknya yang mencari sumber air. Sumber Air ini dalam kehidupan gurun, sering jadi cikal bakal berdirinya pemukiman penduduk atau kota. Setelah putranya dewasa, Nabi Ibrahim diminta untuk menyembelih putranya, Ismail, dan mendirikan Ka’bah.


"Katakan: Sesungguhnya Aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik". (Al An'am [6]: 161)]

Ibadah yang dianjurkan dalam Islam, adalah ‘tapak tilas’ Nabi Ibrahim. Seperti Haji ke Kota Mekkah berkunjung ke Baitullah (Ka’bah), dan menyembelih hewan ternak di Hari Raya Idul Adha. Sehingga, perintah Haji sudah dianjurkan oleh Allah sebelum datangnya Islam. Mekkah sebagai tempat suci Ummat Islam, adalah peninggalan Nabi Ibrahim yang sampai kini jutaan orang tiap tahun mengunjunginya baik lewat umrah maupun Haji. Hal ini dapat dilhat dari firman Allah’


““Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam (tempat berpijak) Ibrahim sebagai tempat shalat (tempat untuk memohon). Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud".”” . QS Al Imran 97

Nabi Ibrahim menurut perkiraan sejarawan, hidup sekitar abad 20 SM, dan diberi usia sangat panjang. Menurut sejarawan Muslim, Omar Hashim, kata Ibrahim berasal dari dua kata, yaitu i-b (إب) berasal dari kata ‘ab’ atau abu yang berarti ayah. Dan ‘rahim’ yang berarti pemurah’, jika kedua kata digabungkan menjadi kalimat ‘seorang ayah yang pemurah’. Dalam perkembangannya, Nabi Ibrahim mempunyai keturunan, yang pertama dari Nabi Ismail, yang beranak-pinak melahirkan orang-orang Quraisy, termasuk Nabi Muhammad Saw. Sedang dari pihak Ishaq, beranakkan Ya’qub, yang kemudian melahirkan generasi bani israil. Dari mereka muncul Nabi-nabi yang diutus kepada golongannya (Bani Israil) dan berasal dari cucu-cucu Nabi Ya’qub diantaranya adalah Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun.
Allah berfirman;

Dan itulah hujjah kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. 84. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al An'am [6]: 83-84)

Karena itu, Nabi Ibrahim sering disebut sebagai Bapak Para Nabi, karena banyaknya orang yang diangkat sebagai nabi, dan memiliki darah Ibrahim, baik dari silsilah Nabi Ismail maupun Nabi Ishaq. Dari mereka Nabi Ibrahim mendapatkan keturunan yang saleh, karena doa Nabi Ibrahim setelah membangun Ka’bah.

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar  baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): ‘Ya Tuhan kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk dan patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (Al-Quran) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “ (QS. al-Baqarah: 127-129)

Kisah Nabi Ibrahim dalam memusnahkan berhala disebutkan dalam al Qur’an, al Anbiya’ 51- 72. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah mengisahkan tentang perjalanan Nabi Ibrahim berhadapan dengan para penyembah berhala. Disebutkan, bahwa sebelum kedatangan Musa dan Harun, untuk menyebarkan agama Allah (Tauhid) kepada Bani Israil, telah datang orang yang lebih dulu, yaitu Ibrahim.

Seorang anak yang menentang ayah dan kaumnya, orang-orang yang rajin memuliakan patung-patung tersebut. Mereka mengatakan bahwa pengetahuan akan kemuliaan patung tersebut datang dari nenek moyang mereka. Ibrahim menyeru kepada mereka, bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah kesesatan yang nyata. 

Seruan Nabi Ibrahim tersebut membuat kaget kaumnya, yang mengira Nabi Ibrahim hanya bercanda. Karena demikian kuat totem mereka, sehingga mengira seorang pun tak berani melangkahi kesakralannya. Lalu Nabi Ibrahim menjawab dengan logika bahwa patung tak memberikan kuasa apapun, karena Tuhan yang sebenarnya adalah Dzat yang menciptakan langit dan bumi, dan bukan tuhan yang lemah. 

Tak hanya menyeru, tetapi ia berbuat lebih ‘ekstrim’ lagi dengan menghancurkan berhala hingga berpotong-potong kecuali induknya. Kemudian marah lah kaumnya tersebut, hingga mencari siapa yang sekiranya berani berbuat kurang ajar terhadap sesembahan yang benar-benar mereka sakralkan. Lalu seorang mengatakan perkiraannya, bahwa kemungkinan yang berbuat demikian adalah seorang yang bernama Ibrahim, yang memang benar-benar orang yang anti berhala. 

Kemudian terjadi tanya-jawab antara Ibrahim dengan kaumnya yang penyembah berhala, disini lah terjadi kepintaran komunikasi Nabi Ibrahim. Ketika Nabi Ibrahim menghadapi tuduhan bahwa ia telah menghancurkan patung, lalu ia Nabi Ibrahim balik menuduh bahwa patung yang paling besar lah yang melakukan terhadap patung-patung yang lebih kecil. Kemudian mereka mengatakan bahwa sesungguhnya kamu (Ibrahim) maklum, patung ini sama sekali tak dapat berbicara.

Hal ini lah yang menjadi titik balik kemenangan komunikasi Nabi Ibrahim. Ibrahim lalu bertanya balik, ‘Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak pula memberi mudharat kepada kamu?” lalu, kaumnya marah, dan hendak membakar Nabi Ibrahim. Maka dibakarlah Nabi Ibrahim di hadapan orang banyak. Seraya mengatakan bahwa jika ia benar, maka Tuhan yang disembah Ibrahim meski menyelamatkannya. Di sinilah datang pertolongan Allah yaitu mendinginkan api yang membakar Nabi Ibrahim.

Dalam ayat selanjutnya dijelaskan 


Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia


Dan Kami telah memberikan kepada-nya (Ibrahim) lshak dan Ya'qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masingnya Kami jadikan orang-orang yang saleh

Nabiyullah, Nabi besar sepanjang masa, namanya harum, dipanjatkan oleh jutaan kaum muslimin yang bersholawat kepadanya. Memiliki perjalanan panjang pertentangannya dengan para kaumnya. Para keluarganya diuji pula dengan kesabaran. Istrinya, Hajar, ditinggal sendiri di Mekkah, yang waktu itu tidak ada sumber airnya, hingga menemukan setitik sumber air yang dinamakan ‘zam zam’. Semua kemuliaan yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim, datang dari buah ikhtiyar, doa, pemikiran, yang berproses selama puluhan tahun dalam hidupnya, yang menurut perkiraan para mufasirin ia hidup selama 175 tahun.
- - -




Membahagiakan Orang Tua


Membahagiakan Orang Tua adalah salah satu kewajiban tiap individu dari kaum muslimin, atau fardhu ‘ain. Dalam istilah agama Islam, sering disebut dengan birrul walidaini. Perintah untuk memperlakukan baik terhadap orang tua disebut 13 kali dalam ayat al Qur’an. Salah satunya dalam Surat Al Isra’; 23


Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia (QS An Isra’ : 23)

Ayat di atas mendudukkan antara perintah menyembah kepada Allah dan berbuat baik terhadap orang tua secara sejajar. Betapa tinggi posisi menghormati Orangtua dalam Islam. Bahkan dalam suatu hadits dikatakan “ridho-allahi ridho al walidaini” (Ridho Allah adalah Ridho kedua orangtua, HR. Tirmidzi).
Dalam ayat di atas (Al Isra’ : 23) , membahagiakan orangtua tidak hanya secara materi belaka. Atau sekedar bertanggungjawab secara ekonomi jika orangtua telah berusia lanjut dalam pemeliharaan kita, melainkan harus bertanggungjawab secara moril.

Dalam ayat di atas, tidak boleh mengatakan ‘uf’, atau dalam bahasa Indonesia, seperti ‘ah’ atau lebih kasar lagi ‘hus’. Banyak orang yang merasa cukup jika mereka telah ‘mengirim uang’ kepada orang tuanya, tetapi bersikap tak acuh kepadanya. Mereka tak segan-segan mengatur-atur orangtuanya agar manut, karena merasa orangtuanya sudah berada dalam pemeliharaannya. Menjaga ‘hati’ orangtua sangat ditekankan dalam ayat di atas. 

Ada tiga kalimat dalam ayat di atas, dimana seorang anak harus menjaga keseimbangan moral orangtuanya ketika mereka sudah lanjut usia. Seperti;

a)      Fa laa taqul lahumaa ‘ufin’ , tidak boleh berkata ‘hus’/ ‘ah’ atau perkataan lain yang dapat menyakitkan hatinya.
b)     wa laa tanhar humaa, dan jangan membentak keduanya,
c)      wa quuluu qaulan kariimaa,  dan berkatalah dengan perkataan mulia/lemah lembut. 

Ini lah beberapa adab seorang anak terhadap orangtua, selain kewajiban mereka untuk memelihara orangtua, jika seorang anak itu sudah tumbuh dewasa, dan orangtua sudah dalam keadaan ‘uzur. Membahagiakan orangtua dalam Islam bukan berarti mengajak mereka untuk piknik ke tempat rekreasi yang mereka sukai. Tetapi pada kebahagiaan yang bersifat lebih hakiki.

Perintah membahagiakan orangtua ditujukan kepada seorang anak, baik lelaki maupun perempuan. Tetapi bagi perempuan yang sudah bersuami, harus minta izin terlebih dahulu kepada suaminya, jika ingin memelihara orangtuanya. (Karena status suami dalam keluarga adalah sebagai Imam).

 
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".(Al Isra’: 24)

Maksud dari ‘rendahkan dirimu’ itu adalah penghormatan yang diberikan kepada orangtua. Baik dengan sikap lahir, sikap batin, dan , tuturan. Tiap tradisi mempunyai cara tersendiri untuk menghormati orangtua. Orang Jawa biasanya menggunakan ‘krama inggil’ untuk menghormati orangtua, sedangkan orang Asia Timur (jepang) dengan cara membungkukkan badan.  Sedangkan untuk orang Barat, cukup memanggilnya dengan sebutan ‘Ibu’ (Mom) atau ‘Ayah’ (Dad). Sebutan tersebut cukup sopan, karena dalam kultur Barat, mereka biasa memanggil orang yang lebih tua dengan nama langsung. Itu adalah bentuk sikap ‘janakha azh zhulli’ sebagaimana dimaksudkan dalam ayat diatas. Ayat di atas ditutup dengan perintah untuk mendoakan orangtua. 


Kedua ayat di atas adalah perintah yang diberikan kepada si ‘anak’. Pertanyaannya, kenapa tidak ada perintah orangtua untuk menghormati si anak? Menurut Sayyid Quthb, orangtua tidak perlu diberikan nasehat untuk berbuat baik kepada anak. Adalah naluri orangtua untuk berbuat baik kepada anak-anaknya. Bahkan, secara naluriah pula ia dapat menyayangi anak dari anaknya (cucunya).

Kedua ayat di atas (al Isra’ 23-24) juga tuntutan berbakti tidak hanya kepada Ibu, melainkan pada kedua orangtua kita. Dapat dilhat pemakaian kata ‘walidaini’ yang artinya kedua orangtua. Tetapi, ada beberapa ayat yang menyebutkan keunggulan/kelebihan ibu, seperti dalam ayat berikut;


 

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Ayat di atas pada umumnya adalah berisi wasiat untuk berbuat baik kepada orangtua, khususnya ‘ibu’. Ibu lah yang telah mengandung dan menyapih selama 2 tahun. Ukuran 2 tahun dalam ayat tersebut adalah ‘selambat-lambat’nya seorang ibu menyapih anaknya. Penyapihan berbeda-beda antara seorang ibu dengan ibu lainnya, rata-rata antara 1-2 tahun. Meski ayat di atas mengkhususkan penghormatan terhadap ibu, tetapi secara ‘am atau keumuman adalah penghomatan kepada keduanya. Jadi tidak boleh dipahami, hanya seorang ibu yang berhak untuk dihormati, sedangkan ayah tidak. 

Kekhususan perlakuan anak kepada ibunya, karena ‘wali’ seorang anak itu ada pada diri ibu. Dalam sebuah hadits di katakan bahwa ‘surga itu terletak di kaki seorang ibu’, untuk menunjukkan keharusan hormat seorang anak terhadap ibunya. Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan ;

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata:, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan,
 berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’
 Nabi menjawab, ‘Ibumu!’
Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’
Nabi  menjawab, ‘Ibumu!’
Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’
Beliau menjawab, ‘Ibumu.’
Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.'”
(HR. Bukhari & Muslim).

Penghormatan terhadap orangtua sepadan, bahkan lebih baik daripada berjihad (dalam artian ‘perang’ fisik mempertahankan agama Allah). Dalam Ajaran Islam, perang melawan nafsu disebut dengan Jihad Akbar (Jihad Terbesar), sedangkan jihad secara fisik, adalah Jihad Ashghor (Jihad kecil). Karena bagaimana pun, pembentukan karakter seorang mu’min adalah tujuan sedangkan jihad fisik hanya sarana semata. 

Suatu ketika datang seorang kepada Rasulullah, beliau ingin berjihad tetapi tidak mampu. Kemudian Nabi bertanya; “Apakah orangtua kamu masih hidup?”, kemudian dijawab : “ Ibu saya masih hidup”, Lalu Nabi bersabda; “temuilah orangtuamu dan berbakti kepadanya., karena perbuatan demikian, sama seperti pahala haji, umrah dan jihad, (HR Thabrani).

Wahai rasulullah, saya ingin (berangkat) untuk berperang, dan saya datang (ke sini) untuk minta nasehat pada anda. Maka S.A.W bersabda: “Apakah kamu masih memiliki Ibu?”. Berkata dia: “Ya”. Bersabda S.A.W: “Tetaplah dengannya karena sesungguhnya surga itu dibawah telapak kakinya” (HR Nasa’I & Ahmad).

Dalam hadits-hadits di atas, manfaat berbuat baik kepada orangtua, tidak hanya mendatangkan ridha Allah, dimana pahalanya setara dengan ibadah haji dan jihad di jalan Allah, melainkan dapat pula memberi kafarah, bagi dosa-dosa sebelumnya. 

Pada hadits sejenis juga dinyatakan hal yang hamper sama. Seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah, orang yang mengaku berdosa besar, apakah ada pintu taubat baginya. Kemudian Rasulullah bertanya, “apakah ibumu masih ada?”, kemudian dijawab : Tidak. Lalu rasul bertanya kembali, “kalau bibimu masih ada?”, dijawab “Ya”, lalu rasulullah bersabda; “berbuat baiklah padanya”. (HR Tirmidzi)

Hadits di atas, seperti hadits-hadits lainnya, yaitu memberikan keringanan dan kesempatan kepada seseorang untuk tetap melakukan ibadah dalam menghormati orangtua, seperti dalam sholat, jika tak dapat berdiri, diperbolehkan duduk, jika tak dapat duduk, diperbolehkan berbaring. Jika, tak diberi kesempatan berbuat baik kepada ibu, maka ia dapat diberikan kesempatan untuk berbuat baik kepada bibinya.

Juga hadits serupa dimana seorang anak yang tak diberikan kesempatan untuk berbakti kepada orangtuanya yang telah meninggal dunia, maka ia diperkenankan untuk bersedekah , dimana pahalanya ditujukan kepada orangtuanya.

Dari ‘Aisyah ra bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW: “Ibu saya mati mendadak, dan saya yakin seandainya dia bisa bicara, dia bersedekah, apakah ibu saya mendapat pahala, seandainya saya bersedekah untuk ibu saya? Rasulullah menjawab, “ya ada pahala bagi ibumu.”(HR Bukhari dan Muslim).

Si Anak yang bersedekah, tidak lah memperoleh pahala dari sedekah yang ia lakukan, tetapi si anak memperoleh pahala dari niat dan perbuatannya dalam menghormati kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia.

Perintah menghormati orangtua, bukan hanya perintah yang diberikan oleh umat Nabi Muhammad Saw semata. Nabi-nabi sebelumnya juga memerintahkan hal yang sama, yaitu menghormati kedua orangtuanya. 

Nabi Ibrahim berdo’a:


 
Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)".(Ibrahim : 41)

Nabi Nuh berdoa;

 

Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan". (Nuuh: 28)

Perintah untuk menghormati orangtua tidak hanya berlaku pada orangtua yang sesama mukmin, melainkan juga orangtua yang berbeda iman sekalipun. Bahkan, jika orangtua memerintahkan untuk berbuat syirik, maka kita wajib menolak, tetapi harus disertai perkataan yang lembut, dan harus tetap mempergauli orangtua secara baik.

Firman Allah dalam Surat Luqman: 15





Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.  (Luqman: 15)

Jadi kita hendaknya tetap menaati perintah orangtua, kecuali jika perintah tersebut menyalahi ketentuan Allah. Meski demikian tetap harus menggunakan adab. Banyak orang di sekitar kita, dimana anaknya rajin sembahyang, tetapi orangtua masih terlarut dalam dosa (mabuk-mabukan, perbuatan syirik, zina, judi, dst).

Cara menasehatinya pun harus pula dengan adab. Hal ini dapat dilihat dari adab Nabi Ibrahim as terhadap ayahnya. Al Qur’an Surat Maryam 46-47, menggambarkan begitu santunnya Nabi Ibrahim kepada ayahnya yang penyembah berhala;

 


Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama".


 
Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (Maryam 46-47)

Kesimpulannya adalah, kita diwajibkan memelihara kedua orangtua kita jika kelak mereka sudah tidak mampu lagi. Selama merawat orangtua, jangan sekali-kali kita bersikap sombong/pongah terhadap mereka, dikarenakan lemahnya posisi mereka di hadapan kita.

Sikap kita tetap harus tunduk/patuh, selama hal itu tidak menyalahi hokum Allah. Dan jika mereka berbeda keyakinan, adalah kewajiban kita untuk membimbingnya secara baik-baik.






- -