Membayar
hutang adalah kewajiban tiap individu yang meminjam uang ke pihak lainnya. Jika
tidak dilunasi, maka dalam ajaran Islam, akan mempertanggungjawabkannya kelak
di akhirat. Sehingga, ketika seorang yang meninggal dunia, maka pihak ahli
waris nya dituntut untuk membayarkan hutang-hutang almarhum ketika hidupnya. Karena,
salah satu dari maqoshidusy syar’i adalah hifzhul maal, maka masalah hutang ini
tak bisa dianggap enteng. Bahkan dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah menyatakan bahwa ‘jiwa seorang muslim tergantung oleh utangnya,
sampai utangnya dilunasi’.
Permasalahan
nya sekarang adalah bagaimana jika yang berhutang tersebut bukan individu
melainkan negara. sebagaimana diketahui, hutang negara ke lembaga donatur,
hampir semuanya diperuntukkan untuk pembangunan bangsa. Dan pembangunan bangsa
tersebut mencakup pembangunan manusianya, sehingga secara tidak langsung untuk
mencukupi kebutuhan individu-individu di dalamnya.
Sebagaimana diketahui,
hutang negara kita semakin lama semakin meningkat tajam, bahkan pada bulan juli
2017 tercatat 3.667 Triliun rupiah, sehingga tiap orang Indonesia rata-rata
menanggung hutang sebesar lebih dari 13 juta rupiah. Jumlah ini, tidak bisa
dilunasi dalam waktu dekat, melainkan hutang jangka panjang. Karena besarnya
hutang tersebut hampir sepertiga dari total domestik bruto (PDB) kita, dan hampir
dua kali lipat anggaran negara kita sebagaimana yang tertuang dalam APBN. Dan jumlah
hutang dari tahun ke tahun, tidak menunjukkan penurunan, melainkan peningkatan.
Jika hutang
ini dianggap sebagai hutang individu-individu, maka ini berpengaruh sampai di
akhirat. Karena nyawa seorang muslim akan terus bergantung sampai hutang
tersebut dilunasi. Bagaimana para ulama menyikapi hal ini? Apakah mereka
menganggap bahwa hutang negara itu sama seperti hutang individu.
Jika kita
melihat keduanya, maka terdapat perbedaan pada prinsip. Hutang individu itu
keinginan dari individu, dan mereka sendiri lah yang membuat kesepakatan. Sedangkan
hutang negara, mereka sama sekali tidak terlibat, bahkan dalam masalah
pembahasan. Perbedaan lainnya adalah bahwa hutang individu untuk keperluan
pribadi, sedangkan hutang negara untuk kemaslahatan umum. Keduanya sama sekali
berbeda, sehingga majlis ulama, sebagaimana PBNU, hutang negara tidak sama
dengan hutang individu.
Jika hutang
negara dianggap hutang individu punya konsekwensi yang serius, maka semua WNI
yang beragama Islam di Indonesia tidak bisa disholatkan. Maka tradisi sholat
jenazah yang biasa dilakukan di kampung-kampung ketika ada acara kematian
seseorang, tidak mungkin terlaksana. Karena Nabi sendiri menyatakan bahwa ia
tidak menyolatkan orang yang masih mempunyai hutang (HR Bukhori), dan pahala
para ahli kubur akan ditangguhkan sampai hutangnya terlunasi (HR Turmudzi).
Hutang
Negara sepenuhnya ditanggung oleh kas negara yang berasal dari pajak dan sumber
pendapatan lainnya, seperti laba dari BUMN, dan sebagainya. Apakah hutang
negara tersebut efektif tidaknya juga akan ditanggung oleh pihak-pihak yang
diberikan amanat untuk mengelolanya, yaitu pemerintah, dinas dan pihak
kontraktor. Jika uang negara dihamburkan atau digunakan secara boros dan
penggunaan tidak efektif, bukan salah semua rakyat indonesia, melainkan salah
dari individu-individu. Dan jika sebagian uang negara di-‘permak’ dengan cara
menggelembungkan harga, maka tanggungjawab tersebut ada pada pihak-pihak
pelaksana nya. Oleh karena itu, mengelola uang negara punya tanggungjawab
besar, dimana konsekwensi nya pada akhirat.
Tidak begitu
dengan rakyat, karena mereka tidak terbebani, mereka hanya diwajibkan untuk
bekerja, bertanggungjawab kepada individu dan keluarga, serta membayar pajak,
karena di situ lah kewajiban nya terhadap negara, dan secara tidak langsung
menggugurkan kewajiban akan pembayaran hutang negara donatur.
Tidak ada komentar