Di Moment Agustusan ini adalah saat yang tepat
untuk mengenang kembali bagaimana ummat Islam di Nusantara pada zaman dahulu
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Umat Islam punya peran sangat vital dalam
melawan penjajahan Belanda. Dapat dikatakan bahwa penjajahan Belanda, jauh
sebelum kemerdekaan didominasi oleh para ulama dan para santri.
Dapat dilihat tentang perlawanan-perlawanan
terhadap penjajahan belanda sebelum tahun 1900an, pada umumnya ‘berbau’ agama.
Misalnya pangeran Diponegara di Yogyakarta yang melakukan serangan gencar
terhadap pos-pos Belanda di Yogya dan Jawa Tengah. Di saat yang hampir
bersamaan Tuanku Imam Bonjol dan kelompok Sumatra Thawalib melakukan perlawanan
terhadap Belanda. Di Aceh muncul Cik Dik Tiro, di Pekalongan muncul gerakan Rifa’iyyah
pengikut Haji Rifai, dan tak terhitung banyaknya para ulama yang memimpin
pergerakan melawan kaum kerajaan.
Pada zaman dahulu, surat kabar yang tertempel di
surat kabar harian berbahasa Belanda di Indonesia, yang paling sering adalah
sekelompok orang berpeci dan bersarung, yang tengah ditangkap oleh kaum
penjajah karena melakukan pemberontakan.
Tidak hanya individu-individu yang melakukan
pemberontakan, melainkan para pemimpin kerajaan yang turun tangan melakukan
perlawanan terhadap monopoli perdagangan kaum penjajah belanda. Sejak awal mula
penjajahan, ummat Islam sudah melakukan penolakan yang tegas bahkan sejak masa
Demak. Diceritakan, Pati Unus diperintahkan oleh Sultan Demak untuk menyerang
Portugis di Selat Malaka, kemudian Fatahillah merebut Batavia dari tangan
portugis, Sultan Hassanudin dari Makasar melakukan serangan terhadap Belanda,
Sultan Agung dari Mataram Islam juga berperang melawan penjajahan. Dapat
dibayangkan, hampir seluruh perlawanan terhadap Belanda, selalu digerakkan oleh
ummat Islam.
Mereka melawan tidak saja karena motif
nasionalisme, melainkan juga faktor agama. Dalam agama diperbolehkan melawan
pihak-pihak yang berusaha memonopoli perdagangan. Dalam ajaran Islam, dunia
perdagangan harus dibangun dengan sistem persaingan sehat (dibangun atas
landasan kejujuran dan tidak diperbolehkan merugikan orang banyak). Selain itu,
faktor kedatangan bangsa penjajah di Indonesia, tidak selalu bermotif ekonomi
(yaitu penjajahan) melainkan juga karena motif agama, yaitu kepentingan mereka
untuk menyebarkan agama kristen.
Besarnya perlawanan kaum muslimin di masa
penjajahan, sampai Dr Douwes Dekker menyatakan bahwa “Apabila Tidak ada
Semangat Umat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan sebenarnya lenyap dari
Indonesia” . pendapat Douwes Dekker ini bukannya tidak ada alasan. Tidak ada
hal yang ditakuti oleh penjajah belanda, selain dari bangkitnya kelompok
muslimin melawan penjajahan. Pada zaman dahulu, organisasi besar yang dapat
menyatukan kelompok kecil adalah Sarekat Islam yang berasaskan Islam, bukan
Boedi Oetomo.
Selain berjasa karena perlawanan terhadap
penjajahan secara terus menerus, kontribusi lain yang diberikan oleh ummat
Islam di Indonesia adalah penyebaran bahasa rumpun melayu (saat ini kita kenal
dengan sebutan ‘bahasa Indonesia’), ke berbagai daerah di nusantara. Pada zaman
dahulu, belum dikenal adanya bahasa persatuan. Masing-masing daerah menggunakan
bahasa daerahnya sendiri. Dahulu para ulama dari Malaka, menyebarkan Islam ke
berbagai wilayah. Mereka menggunakan bahasa pengantar Melayu, dan menulis
kesusastraan dengan menggunakan bahasa melayu dan berhuruf arab. Sastra-sastra
berbahasa Melayu telah ditulis oleh para ulama, seperti Ar Raniri, Hamzah
Fansuri, Abdurrauf As Singkili, dan sebagainya. Karya mereka tidak hanya ditemukan
di Aceh atau bagian sumatra lainnya, melainkan juga di beberapa tempat di Jawa.
Karena penyebarannya begitu intens, maka dipakai lah bahasa ini sebagai bahasa
persatuan, yang kemudian dinamakan sebagai bahasa Indonesia.
Tidak ada komentar