Bulan Dzulhijjah adalah pengujung tahun atau
bulan ke 12 pada kalender Hijriyah. Jika pada kalender Masehi, Bulan ke-12
identik dengan musim Hujan, bulan ke 12 pada Kalender Hijriyah identik dengan musim
haji. Karena pada bulan ini terdapat pelaksanaan ibadah haji, yaitu dimulai
dari tanggal 9 Dzulhijjah dengan melakukan wukuf di Arafah. Bulan Dzulhijjah
dan bulan-bulan lainnya dalam sistem kalender Hijriyah tidak dapat dipakai
untuk menentukan musim hujan atau kemarau, tetapi dipakai dalam pelaksanaan
ibadah-ibadah sebagaimana yang diatur
dalam syariat Islam.
Dzulhijjah adalah Bulan Haji, karena Dzulhijjah
sendiri artinya dzul : yang mempunyai, dan hijjah; haji, sehingga dzulhijjah
bulan yang mengandung waktu pelaksanaan haji. Hal ini sangat berpengaruh pada
kebiasaan di negara-negara yang bermayoritas beragama Islam, seperti di
Indonesia ini. Misalnya pada bulan ini, ratusan ribu ummat muslim tiap tahun
nya, menyiapkan diri di bulan ini.
Mereka berangkat sesuai dengan kloternya,
kemudian menginap di embarkasi haji, kemudian diberangkatkan ke tanah suci.
Ketika mereka berangkat, maka terdapat acara pengajian, yang bertujuan untuk
mendoakan agar perjalanan haji mereka lancar. Ketika pulang, mereka melaksanakan
tasyakuran. Ibadah haji pada diri nya sendiri adalah suatu ibadah yang
terpisah, tetapi karena tabiat manusia dalam bermuamalah, maka muncul lah
tradisi-tradisi dalam rangka pemberangkatan haji.
Secara kebahasaan, haji artinya mengunjungi,
dalam hal ini adalah mengunjungi Mekkah untuk berwukuf, berthowaf dan beberapa
rukun lainnya. Ibadah haji sudah dikenal sejak zaman Nabi Ibrahim alaihi salam.
Karena perkembangan kebudayaan pada Arab, risalah tauhid Nabi Ibrahim perlahan
mengalami perubahan kembali ke kemusyrikan. Ibadah haji yang diajarkan oleh
Nabi Ibrahim pun mengalami perubahan. Tujuan ibadah haji, yang sebelumnya hanya
untuk mengagungkan Allah, pada zaman jahiliyah berubah, ke penyembahan ke
banyak dewa. Ka’bah sebelum kedatangan Islam, di dalamnya berisi patung-patung
para dewa sesembahan orang Arab pada zaman dahulu.
Islam datang memperbaikinya, lafazh-lafazh
dikembalikan lagi ke aslinya, yaitu sebagai bentuk pengagungan hanya pada satu
Tuhan, yaitu Allah Swt. Ibadah haji sendiri, diilhami oleh kisah Nabi Ibrahim
dan keluarganya. Dimana Siti Hajar, ditinggal seorang diri bersama putranya di
tengah padang pasir, yang saat itu belum ditemukan adanya sumber air (oase).
Kisah ini adalah kisah inspiratif, yaitu perjuangan seorang Ibu untuk menyelamatkan
anaknya, dengan mencari sumber air. Ia harus berlarian dari satu bukit ke bukit
lainnya, sampai tujuh kali sebelum menemukan nya. Itu lah yang mengilhami sa’i,
yaitu berlari kecil antara bukit marwa dan shofa sampai tujuh kali.
Tetapi perkembangan zaman, memungkinkan
perkembangan berbagai fasilitas sehingga semua orang dapat menikmati perjalanan
haji secara lebih mudah daripada waktu lampau. Pada masa sekarang, di masjidil
Haram, lantai tanah pada masa rasul, kini berganti dengan lantai marmer. Di
tiap-tiap ujung masjidil haram terdapat kipas angin besar yang dapat
menyemprotkan air, sehingga mengurangi panasnya cuaca di sana. Antara bukit
safa dan bukit marwa, saat ini berbentuk bangunan lorong panjang yang
menghubungkan keduanya, berlantai marmer, sehingga seorang dapat melakukannya
secara mudah. Dapat dibayangkan, bagaimana beratnya perjalanan haji pada zaman
dahulu, dimana fasilitas-fasilitas tersebut tidak ada.
Pada zaman dahulu, biasanya orang pergi haji
tidak hanya untuk haji, melainkan juga menuntut ilmu. Dapat dibayangkan, dulu
perjalanan dari Jawa ke Tanah Suci selama berbulan-bulan naik kapal. Mereka
tidak langsung pulang, melainkan menuntut ilmu di sana selama beberapa tahun,
kemudian pulang ke tanah air. Banyak ulama dari Indonesia, yang berhaji ke
sana, kemudian menetap. Dua ulama besar yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu KH
Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, mereka pergi ke Mekkah tidak hanya untuk
haji, melainkan juga menetap kesana dan berguru kepada ulama. Seorang ulama
paling terkemuka, yaitu Syeikh Nawawi Al Bantani, beliau tidak hanya menetap,
tetapi sampai akhir hayatnya tinggal di sana, dan menjadi Imam di Masjidil
Haram.
Para pemikir dan aktivis gerakan Islam, menyebut
haji ini sebagai muktamar ummat Islam. Karena ummat islam dari penghujung
negeri berdatangan ke satu titik, yaitu Masjidil Haram di Mekkah. Dalam
sejarahnya, orang-orang yang ke mekkah berhaji, kembali ke tanah air, dengan
membawa misi pembaharuan. KH Hasyim Asy’ari membawa misi untuk menyatukan para
ulama ahlus sunnah wal jama’ah di tanah air. KH Ahmad Dahlan, membawa misi
pembaharuan dan modernisasi di bidang pendidikan ummat islam dan pemikiran. Dan
beberapa ulama di Sumatra Barat, mendirikan gerakan keagamaan Sumatra Tawalib.
Tidak ada komentar