Select Menu

Slider

Travel

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing



Kafarah terhadap dosa selain dilakukan dengan cara beristighfar dan bertaubat adalah dengan melakukan tindakan-tindakan baik, salah satunya dengan berpuasa. Banyak sekali manfaat dari puasa, salah satu nya untuk menghapus dosa-dosa yang kita lakukan di masa lampau maupun di masa yang akan datang. Puasa sunnah ada banyak wujudnya, misalnya puasa hari senin dan kamis, puasa syawal, puasa dawud, dan puasa di hari Arafah. Puasa Arafah dilaksanakan ketika para jama’ah haji berkumpul di padang arafah untuk melaksanakan ibadah wukuf, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Sebagagaimana sabda Nabi Muhammad Saw, yang menyatakan  “Puasa Arofah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim no. 1162). Puasa Arafah disunnahkan bagi orang yang tidak sedang berwukuf di padang Arafah (berhaji), sebaliknya bagi mereka (orang yang sedang berwukuf) disunnahkan untuk TIDAK berpuasa di hari tersebut.
Sedangkan dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil atau ringan, atau pun memperingan dosa-dosa besar yang telah dilakukannya. Mengenai pengampunan dosa dari puasa Arafah, para ulama berselisih pendapat. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah dosa kecil. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Jika bukan dosa kecil yang diampuni, semoga dosa besar yang diperingan. Jika tidak, semoga ditinggikan derajat.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 51)
Bulan Dzulhijjah merupakan salah satu bulan penuh berkah selain bulan Romadhon, terutama di 10 awal bulan tersebut. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw, bahwa “Tiada amal yang sholeh yang dilakukan pada hari-hari lain yang lebih disukai daripada hari-hari ini (sepuluh hari pertama dalam bulan Dzulhijjah).” (HR. al-Bukhari)

Puasa Arafah dilakukan sehari sebelum Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah. Setelah berpuasa, maka tiap muslim disunnahkan untuk memperbanyak bacaan takbir, hamdalah, tasbih, dan tahlil, untuk menyambut hari Raya, sampai di akhir hari tasyrik, yaitu pada tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah.  


Bulan Dzulhijjah adalah pengujung tahun atau bulan ke 12 pada kalender Hijriyah. Jika pada kalender Masehi, Bulan ke-12 identik dengan musim Hujan, bulan ke 12 pada Kalender Hijriyah identik dengan musim haji. Karena pada bulan ini terdapat pelaksanaan ibadah haji, yaitu dimulai dari tanggal 9 Dzulhijjah dengan melakukan wukuf di Arafah. Bulan Dzulhijjah dan bulan-bulan lainnya dalam sistem kalender Hijriyah tidak dapat dipakai untuk menentukan musim hujan atau kemarau, tetapi dipakai dalam pelaksanaan ibadah-ibadah sebagaimana  yang diatur dalam syariat Islam.

Dzulhijjah adalah Bulan Haji, karena Dzulhijjah sendiri artinya dzul : yang mempunyai, dan hijjah; haji, sehingga dzulhijjah bulan yang mengandung waktu pelaksanaan haji. Hal ini sangat berpengaruh pada kebiasaan di negara-negara yang bermayoritas beragama Islam, seperti di Indonesia ini. Misalnya pada bulan ini, ratusan ribu ummat muslim tiap tahun nya, menyiapkan diri di bulan ini.

Mereka berangkat sesuai dengan kloternya, kemudian menginap di embarkasi haji, kemudian diberangkatkan ke tanah suci. Ketika mereka berangkat, maka terdapat acara pengajian, yang bertujuan untuk mendoakan agar perjalanan haji mereka lancar. Ketika pulang, mereka melaksanakan tasyakuran. Ibadah haji pada diri nya sendiri adalah suatu ibadah yang terpisah, tetapi karena tabiat manusia dalam bermuamalah, maka muncul lah tradisi-tradisi dalam rangka pemberangkatan haji.

Secara kebahasaan, haji artinya mengunjungi, dalam hal ini adalah mengunjungi Mekkah untuk berwukuf, berthowaf dan beberapa rukun lainnya. Ibadah haji sudah dikenal sejak zaman Nabi Ibrahim alaihi salam. Karena perkembangan kebudayaan pada Arab, risalah tauhid Nabi Ibrahim perlahan mengalami perubahan kembali ke kemusyrikan. Ibadah haji yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim pun mengalami perubahan. Tujuan ibadah haji, yang sebelumnya hanya untuk mengagungkan Allah, pada zaman jahiliyah berubah, ke penyembahan ke banyak dewa. Ka’bah sebelum kedatangan Islam, di dalamnya berisi patung-patung para dewa sesembahan orang Arab pada zaman dahulu.

Islam datang memperbaikinya, lafazh-lafazh dikembalikan lagi ke aslinya, yaitu sebagai bentuk pengagungan hanya pada satu Tuhan, yaitu Allah Swt. Ibadah haji sendiri, diilhami oleh kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya. Dimana Siti Hajar, ditinggal seorang diri bersama putranya di tengah padang pasir, yang saat itu belum ditemukan adanya sumber air (oase). Kisah ini adalah kisah inspiratif, yaitu perjuangan seorang Ibu untuk menyelamatkan anaknya, dengan mencari sumber air. Ia harus berlarian dari satu bukit ke bukit lainnya, sampai tujuh kali sebelum menemukan nya. Itu lah yang mengilhami sa’i, yaitu berlari kecil antara bukit marwa dan shofa sampai tujuh kali.

Tetapi perkembangan zaman, memungkinkan perkembangan berbagai fasilitas sehingga semua orang dapat menikmati perjalanan haji secara lebih mudah daripada waktu lampau. Pada masa sekarang, di masjidil Haram, lantai tanah pada masa rasul, kini berganti dengan lantai marmer. Di tiap-tiap ujung masjidil haram terdapat kipas angin besar yang dapat menyemprotkan air, sehingga mengurangi panasnya cuaca di sana. Antara bukit safa dan bukit marwa, saat ini berbentuk bangunan lorong panjang yang menghubungkan keduanya, berlantai marmer, sehingga seorang dapat melakukannya secara mudah. Dapat dibayangkan, bagaimana beratnya perjalanan haji pada zaman dahulu, dimana fasilitas-fasilitas tersebut tidak ada.

Pada zaman dahulu, biasanya orang pergi haji tidak hanya untuk haji, melainkan juga menuntut ilmu. Dapat dibayangkan, dulu perjalanan dari Jawa ke Tanah Suci selama berbulan-bulan naik kapal. Mereka tidak langsung pulang, melainkan menuntut ilmu di sana selama beberapa tahun, kemudian pulang ke tanah air. Banyak ulama dari Indonesia, yang berhaji ke sana, kemudian menetap. Dua ulama besar yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, mereka pergi ke Mekkah tidak hanya untuk haji, melainkan juga menetap kesana dan berguru kepada ulama. Seorang ulama paling terkemuka, yaitu Syeikh Nawawi Al Bantani, beliau tidak hanya menetap, tetapi sampai akhir hayatnya tinggal di sana, dan menjadi Imam di Masjidil Haram.


Para pemikir dan aktivis gerakan Islam, menyebut haji ini sebagai muktamar ummat Islam. Karena ummat islam dari penghujung negeri berdatangan ke satu titik, yaitu Masjidil Haram di Mekkah. Dalam sejarahnya, orang-orang yang ke mekkah berhaji, kembali ke tanah air, dengan membawa misi pembaharuan. KH Hasyim Asy’ari membawa misi untuk menyatukan para ulama ahlus sunnah wal jama’ah di tanah air. KH Ahmad Dahlan, membawa misi pembaharuan dan modernisasi di bidang pendidikan ummat islam dan pemikiran. Dan beberapa ulama di Sumatra Barat, mendirikan gerakan keagamaan Sumatra Tawalib.  


Merdeka itu artinya adalah jika seseorang atau sebuah kelompok memperoleh hak untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Pada zaman dahulu, nasib bangsa kita yang menentukan bukan diri kita sendiri, melainkan tergantung dari kebijakan pemerintahan Belanda. Bahkan sebelum Pemerintahan Belanda, negeri kita pernah diatur oleh sebuah perusahaan besar, yang bernama VOC. Sehingga VOC dan pemerintahan Belanda itu berbeda, VOC sebagaimana perusahaan lainnya, dimiliki oleh individu sebagaimana PT (perseroan terbatas).

Pada zaman dahulu, nama negara kita dikenal dengan nama “Hindia Belanda”, negara Indonesia adalah bagian dari negara Belanda, yang dipimpin oleh Gubernur Jendral yang berpusat di Batavia. Ketika Perang Dunia II, berpengaruh pada hampir seluruh pelosok dunia, termasuk ‘Hindia Belanda’ ini. Pada tahun 1942, Jepang yang terlibat aktif dalam perang tersebut, menginvansi Hindia Belanda, sejak saat ini lah kekuasaan pemerintahan Belanda di Indonesia berakhir.

Indonesia dikuasai Jepang, karena letak negara Indonesia sangat strategis. Agar Indonesia kelak tidak lagi dikuasai bangsa Belanda lagi, maka Jepang berkeinginan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Mereka membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan), yang kemudian bersidang, merumuskan Falsafah Negara (Pancasila) dan Undang-undang Dasar 1945. Ini lah yang kelak, akan menjadi cikal bakal munculnya negara Indonesia, yang diproklamirkan oleh Ir. Soekarno dan Mohd. Hatta.

Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu, menyusul pemboman ke dua kota di Jepang, yaitu Nagasaki dan Hiroshima. Ini lah yang menyebabkan Indonesia berada dalam kekosongan kekuasaan. Karena Belanda belum kembali ke Indonesia, dan Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Maka, para pemuda waktu itu, mengusulkan kepada Soekarno, bahwa saat ini lah waktu yang tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan.

Pada zaman dahulu, belum berkembang teknologi penyiaran seperti sekarang ini. Sehingga berita tentang proklamasi, tidak lah diketahui secara langsung oleh seluruh rakyat, tetapi diketahui berhari-hari sejak kemerdekaan tersebut, tergantung kecepatan media massa pada waktu itu menjangkau publik indonesia. Meski demikian, sebelum kemerdekaan, gelora kemerdekaan sudah disuarakan oleh para pemuda.

Setelah kemerdekaan adalah ujian nyata bagi kedaulatan bangsa Indonesia. Meski sudah memproklamirkan diri, pemerintahan yang baru lahir ini, dianggap sebagai pemberontak bagi kerajaan Belanda. Karena menurut mereka, pemerintahan Belanda lah yang lebih berhak menguasai Indonesia. Oleh karena itu, mereka datang kembali dengan membawa pasukan dan peralatan penuh untuk kembali merebut Indonesia. Maka terjadi lah Perang Kemerdekaan selama bertahun-tahun, antara Indonesia dengan Belanda yang dibantu oleh tentara sekutu.

Pada waktu-waktu ini lah muncul beberapa peristiwa penting, bahwa pemerintahan Indonesia masih eksis, karena mereka tidak hanya didukung oleh rakyat, melainkan tentara yang juga punya power untuk menundukkan pasukan musuh. Seperti peristiwa 10 November di Surabaya, Palagan Ambarawa di Semarang, Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta, dan terjadi perlawanan-perlawanan lainnya ke pihak sekutu. Waktu itu, militer dipimpin langsung oleh Panglima Besar Jendral Soedirman, yang wafat pada tahun 1949.

Perang Kemerdekaan ini, pasukan Indonesia selain mempunyai TNI juga mempunyai batalyon-batalyon, yang sebelumnya dilatih oleh militer jepang dalam PETA (Pejuang Tanah Air), atau lulusan KNIL. Ummat Islam memberikan kontribusi paling besar, karena besarnya jumlah pasukan hizbullah. Tidak hanya pada segi banyaknya SDM, melainkan juga senjata. Waktu itu, belum ada pengaturan dan penertiban kepemilikan senjata sebagaimana sekarang ini.

Setelah masa perang Kemerdekaan, muncul pemberontakan-pemberontakan terhadap Indonesia. Adanya pemberontakan tersebut adalah banyaknya basis militer yang enggan masuk dalam TNI, dan memilih otonom. Sehingga mereka mempunyai persenjataan dan idealisme sendiri yang bertentangan dengan dasar negara Indonesia. Maka muncul lah pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Republik Maluku Selatan (RMS) di Indonesia Timur, Westerling, dan seterusnya. Karena munculnya pemberontakan faktornya tidak hanya ‘keinginan’, melainkan adanya kesempatan, yaitu adanya tentara dan senjata.


 Ini lah faktor yang sampai saat ini masih terjadi munculnya pemberontakan, seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka) atau Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka tidak hanya mempunyai ‘cita-cita’ melainkan juga punya senjata, yang pada umumnya disupport oleh negara-negara asing. GAM disupport Swedia, dan OPM disupport oleh LSM-LSM asing. 



Di Moment Agustusan ini adalah saat yang tepat untuk mengenang kembali bagaimana ummat Islam di Nusantara pada zaman dahulu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Umat Islam punya peran sangat vital dalam melawan penjajahan Belanda. Dapat dikatakan bahwa penjajahan Belanda, jauh sebelum kemerdekaan didominasi oleh para ulama dan para santri.

Dapat dilihat tentang perlawanan-perlawanan terhadap penjajahan belanda sebelum tahun 1900an, pada umumnya ‘berbau’ agama. Misalnya pangeran Diponegara di Yogyakarta yang melakukan serangan gencar terhadap pos-pos Belanda di Yogya dan Jawa Tengah. Di saat yang hampir bersamaan Tuanku Imam Bonjol dan kelompok Sumatra Thawalib melakukan perlawanan terhadap Belanda. Di Aceh muncul Cik Dik Tiro, di Pekalongan muncul gerakan Rifa’iyyah pengikut Haji Rifai, dan tak terhitung banyaknya para ulama yang memimpin pergerakan melawan kaum kerajaan.

Pada zaman dahulu, surat kabar yang tertempel di surat kabar harian berbahasa Belanda di Indonesia, yang paling sering adalah sekelompok orang berpeci dan bersarung, yang tengah ditangkap oleh kaum penjajah karena melakukan pemberontakan.

Tidak hanya individu-individu yang melakukan pemberontakan, melainkan para pemimpin kerajaan yang turun tangan melakukan perlawanan terhadap monopoli perdagangan kaum penjajah belanda. Sejak awal mula penjajahan, ummat Islam sudah melakukan penolakan yang tegas bahkan sejak masa Demak. Diceritakan, Pati Unus diperintahkan oleh Sultan Demak untuk menyerang Portugis di Selat Malaka, kemudian Fatahillah merebut Batavia dari tangan portugis, Sultan Hassanudin dari Makasar melakukan serangan terhadap Belanda, Sultan Agung dari Mataram Islam juga berperang melawan penjajahan. Dapat dibayangkan, hampir seluruh perlawanan terhadap Belanda, selalu digerakkan oleh ummat Islam.

Mereka melawan tidak saja karena motif nasionalisme, melainkan juga faktor agama. Dalam agama diperbolehkan melawan pihak-pihak yang berusaha memonopoli perdagangan. Dalam ajaran Islam, dunia perdagangan harus dibangun dengan sistem persaingan sehat (dibangun atas landasan kejujuran dan tidak diperbolehkan merugikan orang banyak). Selain itu, faktor kedatangan bangsa penjajah di Indonesia, tidak selalu bermotif ekonomi (yaitu penjajahan) melainkan juga karena motif agama, yaitu kepentingan mereka untuk menyebarkan agama kristen.

Besarnya perlawanan kaum muslimin di masa penjajahan, sampai Dr Douwes Dekker menyatakan bahwa “Apabila Tidak ada Semangat Umat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan sebenarnya lenyap dari Indonesia” . pendapat Douwes Dekker ini bukannya tidak ada alasan. Tidak ada hal yang ditakuti oleh penjajah belanda, selain dari bangkitnya kelompok muslimin melawan penjajahan. Pada zaman dahulu, organisasi besar yang dapat menyatukan kelompok kecil adalah Sarekat Islam yang berasaskan Islam, bukan Boedi Oetomo.


Selain berjasa karena perlawanan terhadap penjajahan secara terus menerus, kontribusi lain yang diberikan oleh ummat Islam di Indonesia adalah penyebaran bahasa rumpun melayu (saat ini kita kenal dengan sebutan ‘bahasa Indonesia’), ke berbagai daerah di nusantara. Pada zaman dahulu, belum dikenal adanya bahasa persatuan. Masing-masing daerah menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Dahulu para ulama dari Malaka, menyebarkan Islam ke berbagai wilayah. Mereka menggunakan bahasa pengantar Melayu, dan menulis kesusastraan dengan menggunakan bahasa melayu dan berhuruf arab. Sastra-sastra berbahasa Melayu telah ditulis oleh para ulama, seperti Ar Raniri, Hamzah Fansuri, Abdurrauf As Singkili, dan sebagainya. Karya mereka tidak hanya ditemukan di Aceh atau bagian sumatra lainnya, melainkan juga di beberapa tempat di Jawa. Karena penyebarannya begitu intens, maka dipakai lah bahasa ini sebagai bahasa persatuan, yang kemudian dinamakan sebagai bahasa Indonesia. 



Tidak semua tradisi terkait dengan agama atau kepercayaan. Ada pula tradisi yang sama sekali tidak ada unsur kepercayaan di dalamnya, seperti Agustusan. Sejak awal bulan Agustus, hampir semua kampung sudah mempersiapkan adanya ‘acara agung’ tersebut. Di pinggir-pinggir jalan terdapat para penjual bendera merah putih, gambar pancasila, umbul-umbul dan pernak-pernik kebangsaan lainnya. Karena penjual tahu, bahwa saat bulan agustusan ini lah, bendera dan simbol-simbol negara banyak yang membutuhkan.

Meski tidak ada aturan yang mewajibkan pemasangan bendera Merah Putih, tetapi masyarakat secara serempak memasang bendera merah putih, tepat di depan rumah mereka, sebagai simbol penghormtan kepada bangsa dan negara. mereka pada umumnya sudah memasang bendera merah putih, sejak beberapa hari sebelum hari ‘H’ yaitu tanggal 17 Agustus.

Tidak hanya bendera merah putih, tetapi tiap kampung mempersiapkan diri, dengan membersihkan sudut-sudut perkampungan dan memperjelas garis putih di pinggir jalan-jalan kampung dan memasang umbul-umbul, sehingga kampung terlihat bersih dan rapi. Tidak hanya itu, tiap jalan masuk kampung dihias dengan gapura. Oleh karena itu, selama bulan agustus ini, penduduk kampung banyak yang melakukan kerja bakti, baik untuk bersih-bersih kampung, memasang umbul-umbul, menghias gapura, dan mempersiapkan lomba untuk menyambut acara 17an.

Ketika tanggal 16 Agustus malam, dilakukan tirakat. Di sini mereka menggelar pertemuan kampung, pidato oleh sesepuh dan tokoh-tokoh kampung, kemudian diisi dengan panggung hiburan atau diisi dengan nonton film perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan atau lainnya. Kemudian ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh seorang tokoh agama setempat. Biasanya tradisi tirakatan ini dimulai pada pukul 8 malam, dan selesai sebelum jam 11 malam.

Tanggal 17 Agustus adalah hari libur bagi seluruh instansi, kecuali Rumah Sakit, kantor Kepolisian, atau instansi-instansi penting lainnya. Sekolah diliburkan, sehingga banyak anak-anak yang bisa ikut lomba tujuh belasan. Lomba tujuh belasan biasanya dilaksanakan di lahan relatif luas yang ada di kampung tersebut, atau jika tidak diadakan di aula milik kampung. Bermacam-macam lomba diadakan, dari lomba panjat pinang, balap karung, lomba makan kerupuk, dan sebagainya.

Menurut sebagian orang, perlombaan-perlombaan tersebut terdapat makna terdalam. Misalnya lomba makan kerupuk dengan tangan terikat, menandakan sulitnya memperoleh makanan pada waktu zaman penjajahan dahulu. Lomba balap karung, menggambarkan kondisi mengenaskan waktu penjajahan jepang, dimana banyak orang kekurangan sandang, termasuk celana, sehingga mereka memilih karung, sebagai penggantinya. Terlepas dari benar tidaknya hal tersebut, perlombaan ini punya tujuan yaitu menggalang persatuan orang-orang di kampung sekaligus memeriahkan perayaan 17 Agustusan.


Biasanya di pesantren atau sekolah, mereka meliburkan tetapi mewajibkan para siswanya untuk hadir di pagi hari untuk mengadakan upacara bendera. Tiap bangsa mempunyai cara sendiri untuk mendidik nasionalisme pada generasi mereka, di Amerika Serikat misalnya, mereka sebelum memulai pelajaran di sekolah, mereka mengikrarkan janji untuk setia kepada bangsa Amerika Serikat. janji kesetiaan itu dikenal dengan nama Pledge of Allegiance, yang berbunyi "I pledge allegiance to the Flag of the United States of America, and to the Republic for which it stands, one Nation under God, indivisible, with liberty and justice for all. (Saya berjanji untuk setia kepada bendera Amerika Serikat, dan setia kepada Republik dimana aku berpijak, satu bangsa di bawah kekuasaan Tuhan, yang tidak bisa dicabut, dengan kebebasan dan keadilan bagi semuanya).

Di Indonesia , penanaman nilai nasionalisme ini dengan upacara bendera, dengan mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, dan aktif dalam kegiatan tujuhbelasan, yang melambangkan kerukunan dan gotongroyong demi semangat kemerdekaan (kemandirian). Selain itu, dengan mengunjungi makam pahlawan. Berkunjung ke makam pahlawan untuk mendoakan mereka, adalah pengaruh dari ajaran agama Islam, dimana berziarah kubur, adalah bagian dari ibadah, selama tidak mencampurkannya dengan perbuatan syirik. Tokoh pahlawan yang sering dikunjungi adalah makam Ir. Soekarno di Blitar, makam Jendral Soedirman di Yogyakarta, pangeran Diponegoro di Makassar dan sebagainya.


Tradisi atau kebiasaan lain di Indonesia adalah menonton siaran upacara bendera yang dipimpin oleh Presiden di Istana Negara, baik secara langsung maupun lewat televisi. Tradisi ini adalah turun temurun, sejak zaman Soekarno, ke zaman Soeharto, kemudian bertahan hingga zaman sekarang. 

Masjid Nabawi di zaman Nabi

Masjid itu artinya tempat untuk bersujud, dalam hal ini maksudnya tempat melakukan kegiatan beribadah kepada Allah Swt. Karena ibadah tidak hanya meliputi sholat lima waktu atau sholat jum’at belaka, maka masjid dapat digunakan untuk tujuan lainnya.

Masjid pada zaman Nabi, sebenarnya memiliki fungsi yang jauh lebih kompleks daripada masjid-masjid di zaman sekarang. Meski ada sebagian dari fungsi masjid nabawiyah pada zaman rasul, masih dipertahankan pada masa sekarang oleh sebagian masjid.

Pada zaman Nabi, masjid selain sebagai pusat aktivitas ibadah, juga aktivitas pengajaran. Setidaknya hal ini masih bertahan walau sebagian. Pada zaman dahulu, masjid digunakan oleh rasulullah untuk menyampaikan wahyu yang diterima dari Allah lewat malaikat jibril. Kemudian para sahabat menulis firman Allah itu dengan kulit atau pelepah kurma atau sarana tulisan lainnya. Di sini lah Rasulullah mengajarkan ajaran agama serta menerangkan maksud dari kandungan al Qur’an. Tidak hanya pengajaran agama, melainkan di masjid juga diajarkan pelatihan berperang.

Pada zaman sekarang, kebanyakan masjid membuka pengajaran al Qur’an, misalnya dengan mendirikan TPA, serta memiliki perpustakaan, walau dengan kapasitas yang berbeda-beda. Sebagian memiliki persediaan buku berlimpah, sebagian hanya berupa al Qur’an dan kumpulan buku Iqro’ saja, tergantung dari sumberdaya yang dimiliki oleh masjid tersebut. Sebenarnya peran pengajaran ini bisa ditingkatkan, misalnya dengan memberikan pengajaran seperti komputer, bahasa asing dan sebagainya.

Masjid pada zaman rasulullah juga digunakan sebagai tempat untuk bermusyawarah, pernikahan, perceraian, perjanjian ataupun perdamaian dilakukan di masjid. Fungsi untuk pelayanan ini masih dimiliki oleh sebagian masjid sampai sekarang. Masjid zaman sekarang bisa digunakan sebagai media sosial, seperti digunakan sebagai tempat akad nikah. Tempat rekonsiliasi bagi pihak-pihak yang berseteru, tempat merawat jenazah dan sebagainya. Meski peran seperti ini sangat kurang di masjid.

Masjid pada zaman rasulullah juga digunakan sebagai tempat menginapnya ratusan orang, yang dalam sejarah islam biasa disebut dengan Ashabush Shuffah. Pada zaman dahulu, masjid juga digunakan sebagai tempat perawatan bagi orang-orang yang mengalami luka setelah terjadinya peperangan. Fungsi ini sedikit banyak masih ada, karena sebagian masjid bisa beroperasional ketika bencana melanda. Sebagian orang menggunakan masjid untuk menampung orang yang terkena imbas bencana, atau sebagai pusat penyaluran bantuan.

Masjid di zaman awal Islam, juga digunakan sebagai baitul maal, atau tempat berbagai macam shodaqoh, untuk disalurkan kepada kelompok orang yang membutuhkan. Hampir semua masjid pada zaman sekarang juga melakukannya, tetapi hanya pada moment tertentu saja, yaitu pada pembagian zakat fitrah dan pembagian daging kurban. Selain itu, fungsi masjid sebagai baitul maal kurang berfungsi dengan baik. Padahal, potensi seperti ini harusnya ada. Karena dalam Islam, kewajiban zakat tidak hanya pada zakat fitrah, melainkan juga zakat maal. Masjid bisa menampung dan menyalurkannya kepada orang yang membutuhkan di sekitar masjid. Tidak banyak masjid yang bisa melakukan ini. Hanya masjid yang mempunyai manajemen yang bagus yang bisa melakukannya. Misalnya, mereka membuka BMT di Masjid, atau membuka shodaqoh beras.

Meski masjid dapat digunakan sebagai tempat menampung orang yang sedang kesusahan atau mendapat bencana, bisa pula dipakai untuk musyawarah publik, bahkan baitul maal, tetapi terdapat larangan, yaitu tidak diperkenankan sebagai tempat transaksi jual beli. Risalah para Nabi tidak membolehkan tempat ibadah digunakan sebagai sarana perdagangan. Bahkan Nabi Isa sendiri pernah memporakporandakan dagangan para penjual yang menjajakan barangnya di sekitar masjidil aqsho.


Hal lain nya adalah harus bersikap hormat kepada masjid. Oleh karena itu, dalam Islam, ketika memasuki masjid, disunnahkan untuk melakukan sholat tahiyyatul masjid yang artinya penghormatan kepada masjid. Rasulullah pernah melarang seseorang mencari hewan ternaknya di masjid, karena orang yang mencari hewan ternaknya di masjid, pertanda orang tersebut sama sekali tidak menghormati masjid.