RA Kartini adalah satu-satunya wanita yang hari kelahirannya
diperingati di seluruh penjuru. Beliau adalah tokoh emansipasi wanita ternama
di Indonesia. Meski bukan yang pertama dan terbesar, tetapi RA Kartini dapat
dikatakan sebagai representasi pemikiran dari wanita terpelajar.
RA Kartini lahir pada
tanggal 21 April 1879 di Jepara. RA Kartini adalah anak dari Raden Mas Adipati
Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Sebagaimana kebiasaan masa lampau bangsawan
Jawa, seorang bangsawan memiliki banyak istri. Di antara banyak istri tersebut,
seorang suami menunjuk salah seorangnya sebagai ‘istri utama’nya. begitu juga
dengan ayah Kartini. Ibunya adalah istri pertama, tetapi bukan lah ‘istri
utama’.
Gelar bangsawan ‘Raden Adjeng’ didapat dari darah ayahnya.
Gelar tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki trah (darah) kraton, yaitu
Hamengkubuwono VI, Raja Mataram Yogyakarta yang berkuasa antara tahun 1855 –
1877. Sedangkan ibunya, Ngasirah, berasal dari kalangan Santri. Makanya, meski
menyandang sebagai istri pertama, ia bukan lah istri utama. Pada masa lampau,
dalam sistem hokum feudal belanda, seorang bangsawan memiliki banyak selir,
dengan seorang istri (atau permaisuri).
Zaman tersebut hokum Belanda mengharuskan seorang bangsawan
beristrikan seorang bangsawan. Kartini bukan lah jenis pahlawan yang berada di
tengah kelompok tertindas, lalu membela mereka lewat perjuangan fisik,
sebagaimana pahlawan lainnya. Meski demikian ia berperan besar lewat
tulisan-tulisannya. Pemikiran seorang wanita di masa ketika sistem stratifikasi
social dijalankan secara ketat.
Kartini beruntung berada dibesarkan di tengah keluarga
bangsawan, dengan mendapat fasilitas yang tidak dapat diakses oleh rakyat
kebanyakan. Sehingga Kartini mempunyai pendidikan yang bagus, dan dapat
berbahasa asing dengan baik, karena interaksinya yang intens dengan
pejabat-pejabat Belanda. Dalam situasi keadaan social demikian, pemikiran dalam
tulisan RA Kartini berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama kaum
wanitanya.
Sebagaimana anak kaum bangsawan lainnya, Kartini mendapatkan
kesempatan belajar di sekolah yang orang Eropa yaitu di ELD (Europese Lagere
School) untuk pendidikan dasarnya. Tetapi sebagaimana wanita lainnya, ia harus
dipingit (harus tinggal di rumah) ketika usia 12 tahun. Meski dipingit bukan
berarti ia tidak memperoleh pendidikan, mengingat keluarga bangsawan dulu dapat
mengoleksi buku, Koran atau majalah buatan Eropa. Penguasaan bahasa penjajah
adalah kelaziman di era bangsawan pada zaman dulu, karena interaksi antar keluarga
bangsawan dan keluarga relative tinggi. Dari sini lah ia dapat belajar sendiri,
selain dapat mempelajari tata krama keluarga bangsawan juga dapat menguasai
literature eropa
Bacaan kartini seperti De
Locomotief, sebuah majalah berbahasa belanda yang diiedarkan oleh
penerbitnya kepada pelanggannya, yang umumnya orang Eropa atau bangsawan
pribumi. Kartini juga membaca bacaan di bidang kultur dan ilmu pengetahuan,
seperti De Hollandsche Lelie. Pada usia belasan tahun ia sudah kontribusi
tulisan di majalah ini. Beberapa buku politik seperti Max Havelar karangan
Multatuli, dan tulisan yang berkaitan dengan feminism juga i abaca, seperti
buku The Romantic Feminis karangan
Geokoop de Jong Van Eek, semua buku tersebut ditulis dalam bahasa Belanda.
Pada masa-masa ini diyakini sebagai masa-masa RA Kartini
rajin berkorespondensi atau saling berkirim surat dengan wanita-wanita Eropa.
Pemikiran RA Kartini tidak hanya emansipasi wanita, tetapi juga perjuangan
wanita untuk mendapat hak kebebasan mereka dalam bersuara. Pemikiran RA Kartini
menitikberatkan pada otonomi wanita, kebebasan bersuara, dan persamaan hokum,
serta pemberian kesempatan yang lebih besar kepada wanita untuk berperan.
Meski wanita yang sangat terpelajar (apalagi untuk ukuran
waktu itu), Kartini dinikahkan oleh orangtuanya kepada Joyodiningrat, Bupati
Rembang, yang berusia jauh lebih tua dan sudah mempunyai tiga orang istri.
Kartini menikah di usia 24 tahun, yaitu pada tanggal 12 November 1903.
Pernikahan ini ‘membawa hikmah’ bagi kartini, karena dengan pernikahan
tersebut, suami RA Kartini, Joyodiningrat, memahami pola Kartini, dan
menyetujui untuk mendirikan sekolah khusus wanita, di teras bagian Timur kantor
Bupati Rembang. Pernikahan ini sendiri berjalan kurang dari setahun, karena
Kartini meninggal pada tanggal 17 September 1904. Atau hanya selisih 4 hari,
dari kelahiran putra satu-satunya. Kartini meninggal di usia 25 tahun, dan
dimakamkan di Desa Bulu, Rembang.
Usia Kartini yang relative sangat pendek ini tidak
memungkinkan ia berperan langsung secara lebih besar. Pengaruh RA Kartini
berasal dari kumpulan tulisan-tulisan yang dikumpulkan oleh Abendanon. Seorang
menteri Budaya, Agama dan Industri dan Hindia Timur. Abendanon mengumpulkan
surat-surat yang dikirimkan RA Kartini kepada teman-temannya, dan dibuat buku
di bawah judul Door Duisternis tot Licht, atau diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia menjadi “Habis Gelap Terbit lah Terang”. Tulisan ini mendapat
perhatian luas di kalangan feminis Eropa. Setidaknya mereka mulai merubah imej
mereka terhadap wanita Jawa Asli di Jawa. Seorang wanita Jawa yang diimejkan
selalu berada di bawah baying-bayang suaminya, mampu menginspirasi emansipasi
wanita.
Di luar perdebatan apakah benar buku yang dikumpulkan oleh
Abendanon itu benar-benar ditulis oleh RA Kartini atau tidak, buku tersebut
menginspirasi peranakan Eropa di awal Abad ini mendirikan beberapa yayasan,
seperti pendirian Sekolah “Kartini” di Semarang pada tahun 1912, lalu diikuti
dengan pendirian sekolah wanita di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, serta
daerah-daerah lainnya. Nama RA Kartini semakin dikenal, setelah Soekarno
menetapkan tanggal 21 April sebagai ‘Hari Kartini’ pada tahun 1964.
Tidak ada komentar