Select Menu

Slider

Travel

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing

» » Emansipasi Wanita: Perbandingan Antara Barat & Islam
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama





Berbicara tentang Emansipasi wanita di Indonesia tak lepas dari Raden Adjeng Kartini. Tetapi perlu diingat, bahwa tokoh RA Kartini tidak akan muncul ke Permukaan, jika Abendanon tidak mengumpulkan surat-suarat RA Kartini yang ditujukan kepada teman-teman sejawatnya keturunan Eropa, seperti Stella, Ny. Abendanon, Ovink-Soer, dll. Semua Surat Kartini ini dikumpulkan jadi satu, di bawah judul Door Duisternis Tot Licht, Buku ini pada awalnya gak begitu terkenal, sebelum seorang Pujangga Angkata Balai Pustaka, Arjmin Pane, menerjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbit lah Terang”.

Tidak sepenuhnya pemikiran RA Kartini berkesesuaian dengan pemikiran Feminism barat. Pemikiran Kartini hanya sebatas protes terhadap kedudukan wanita Jawa, dimana pada umumnya mereka selalu diposisikan secara minor. Dalam surat-suratnya, RA Kartini bercerita tentang kenestapaan yang dialaminya sebagai seorang anak wanita dari seorang bangsawan Jawa. Ayahnya adalah Bupati Jepara, yang menikah secara poligami, dan menjadikan ibu kandungnya sebagai istri kesekian, bukan istri utama. Ia punya beberapa saudara laki-laki, dan ia ditempatkan sebagai makhluk kelas dua, dan terpaksa dipingit (diharuskan di dalam rumah) ketika menginjak usia dewasa. Dan siap dijodohkan kepada seorang bangsawan lainnya, bila waktunya tiba.

Surat-surat RA Kartini tersebut diduga ditulis ketika beliau masih remaja, cenderung mencari jati diri dan cenderung labil. Remaja belum menemukan pemikiran ideologis yang relatif konstan, karena mereka ke depannya harus berhadapan dengan realitas (pengalaman kehidupan) yang nyata. Karena pengalaman kehidupan seseorang selalu bergejolak, tergantung pada usia dan pengalaman hidup yang dimilikinya. Begitu juga RA Kartini yang pada akhirnya, menikah juga sebagai istri keempat dari seorang Bupati Rembang.

Perubahan sikap dan Pemikiran RA Kartini sempat ditentang oleh sejawatnya Stella, yang tidak menerima Kartini yang akhirnya mengambil keputusan menjalankan adat, dinikahkan kepada suami yang usianya jauh lebih tua, dan telah mempunyai beberapa istri. Kartini dalam surat-suratnya yang ditujukan kepada Stella, tidak terlihat merasa dilecehkan atau ditindas dengan sistem poligami, sebaliknya malah menyatakan bahwa pernikahan dengan suaminya berjalan secara baik. Hal ini membuatnya berselisih paham dengan Stella. Apa yang dipikirkan oleh Stella berbeda dengan apa yang dialami oleh RA Kartini. Stella mempunya cara pandang sebelumnya, entah karena pengalaman atau karena dari bacaan buku atau pemikiran yang diterima dari pihak lain, punya prejudice terhadap kehidupan poligami RA Kartini.

Perdebatan antara RA Kartini dan Stella dalam surat-menyurat terkait kewajiban seorang istri, menjadi pembeda benar antara emansipasi wanita dan pemikiran feminism. Feminisme berasal dari kata feminus yang berasal dari dua bentuk kata, yaitu fei artinya keyakinan, dan minus; artinya kurang, jika digabungkan menjadi kurang iman. Feminism di Barat muncul karena pertentangan dengan gereja di Barat, dan gereja di Barat waktu itu memperlakukan wanita sebagai manusia kurang iman.

Kemunculan Feminisme ini lahir dari kultur barat, tidak dapat didefinisikan secara konstan, karena feminisme tidak lah muncul secara tiba-tiba seperti saat ini, lengkap dengan berbagai konsepsinya. Pada awalnya, sebagai gerakan protes terhadap penindasan wanita, kemudian berkembang menjadi penuntutan hak yang sama di bidang politik dan ekonomi, kemudian berkembang jadi kritik terhadap lembaga keluarga, mereka pada umumnya menolak posisi wanita saat ini adalah kodrat. Artinya seorang wanita bila perlu menghilangkan kodratnya sebagai ibu rumah tangga, mengandung, melahirkan, menyusui, dekat dengan seorang anak. Perempuan juga punya hak untuk berkarir di luar rumah, termasuk dalam menghilangkan kewajibannya sebagai pengasuh anak. Mereka membela apapun yang dilakukan oleh perempuan, termasuk dalam melacur atau menggugurkan bayi dalam perutnya. Karena kebebasan perempuan lah yang menentukan dirinya sendiri, tidak ditentukan oleh kodratnya.

Kaum feminis punya penafsiran terhadap realitas yang berbeda dengan orang pada umumnya. Mereka pada umumnya berlebihan dalam melihat kehidupan rumah tangga normal, dimana seorang perempuan mengasuh anak yang masih kecil di rumah, sedangkan sang suami pergi mencari nafkah. Dalam penafsiran orang pada umumnya, hal ini sebagai perwujudan pembangunan rumah tangga lewat pembagian kewajiban yang didistribusikan secara berbeda antara suami dan istri, untuk menggapai tujuan rumah tangga. Sedangkan dalam penafsiran kelompok feminis, hal ini berarti penindasan kepada kelompok perempuan atau mereka menyebut dengan kelompok perempuan dikurung di dalam rumah, dan harus tunduk pada aturan (adab) yang diberlakukan kepada mereka. Tak ayal, dalam pemikiran feminism liberal, institusi keluarga selalu sasaran kritik kelompok ini.

Mereka terkadang menafsirkan secara realitas secara sangat radikal, lewat pendekatan biologis, dengan apa yang mereka katakan sebagai gender. Dalam pemikiran gender, mereka tidak menerima dalih-dalih factor ilmiah atau perbedaan biologis antara lelaki dan perempuan, sebagai penentu status mereka, seperti wanita hendaknya hamil, menyusui, dan mengasuh bayi. Menurut mereka, itu bukan terjadi karena factor alamiah, melainkan hasil konstruksi social yang harus dihapus. Feminisme muncul di Barat, sebagai ekspressi penentangan terhadap realitas sosial, yang memberikan privilege kepada pihak lelaki. Di bidang pemikiran keagamaan, mereka juga memunculkan beberapa gerakan, seperti mewacanakan wanita untuk ditahbiskan sebagai seorang pastur, sedangkan dalam pemikiran Islam, mereka menolak keharusan imam sholat dipimpin oleh seorang lelaki, seperti pemikiran Fatimah Mernissi.

Emansipasi wanita sebagaimana diusung oleh kelompok feminisme tersebut jelas berbeda dengan emansipasi wanita dalam islam. Emansipasi wanita oleh kelompok feminism muncul dari sejarah kebudayaan barat, yang berbeda dengan kebudayaan bangsa kita. Feminism di barat muncul dari budaya liberalisme, dimana ukuran benar atau salah tidak tergantung pada nilai-nilai yang diyakini bersumber dari Tuhan, melainkan dari kebebasan dirinya sendiri, atau sering disebut dengan anthroposentrisme. Sedangkan dalam pandangan Islam, segala nilai-nilai bersumber dari Tuhan lewat wahyu yang diturunkan lewat para nabinya. Perbedaan paradigm ini lah yang membedakan antara feminisme dengan islam. Sebagai akibatnya, angka perceraian meningkat di dunia Barat, akibat pemahaman emansipasi wanita yang salah ini.

Menurut laporan Majalah Time berdasarkan sebuah penelitian, dalam rentang tahun 1980 – 1990’an, 1 dari 4 wanita karir dan berlatar pendidikan perguruan tinggi, tidak memiliki anak. Angka tersebut sekarang kemungkinan besar bertambah. Dunia Barat juga dihadapkan dengan menurunnya angka kelahiran bayi mereka, kondisi berbalik dengan apa yang terjadi di Negara-negara berkembang.

Pemikiran Feminisme terhadap emansipasi wanita, berbeda dengan pemikiran emansipasi wanita dalam Islam. Emansipasi wanita menurut ajaran agama Islam tidak bersumber pada kebebasan bertindak atau berekspressi. Dalam Islam, emansipasi wanita diarahkan untuk memenuhi kewajiban ilahiyah. Respon wanita terhadap ketidakadilan yang dialami oleh wanita, harus dibatasi apakah kebebasan wanita tersebut sesuai atau tidak dengan ketentuan dalam islam.

Islam mengatur kedudukan wanita lewat beberapa fungsi berdasarkan kodratnya. Yang pertama, adalah sebagai ibu. Wanita diperbolehkan bekerja di luar rumah, dengan ketentuan tidak melalaikan tugasnya sebagai seorang ibu dari anak-anaknya. Ia juga dituntut untuk melahirkan generasi-generasi berikutnya. Ibu adalah wali utama dari anaknya, karena di bawah kaki dan ridhanya lah terletak semua ridha Allah. Dalam Surat Luqman ayat 14 dijelaskan;

Dan Kami wasiatkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada Ku , hanya kepada Kulah kembalimu." (Luqman 14)

Peran kedua, bagi seorang wanita adalah sebagai seorang istri dari suaminya. Dalam Islam, ketaatan seorang anak kepada ibunya, dan ketaatan seorang istri kepada suaminya. Seorang wanita dapat beraktivitas apapun, selama hal itu atas izin dari suaminya, sebagai Imam keluarga. Tetapi wanita boleh memprotes kepemimpinan suaminya, jika dirasa suaminya bertindak berdasarkan hawa nafsunya dan bertentangan dengan nilai keislaman, atau bertentangan dengan visi keluarga. Dalam visi Keluarga, seorang suami harus memenuhi kebutuhan lahir dan batin sang istri. Keseimbangan dalam keluarga ini lah yang jadi ciri khas ajaran Islam, yang tidak ditemukan dalam pemikiran feminisme liberal.

Seorang anak wanita yang belum mendapatkan pasangan, meletakkan kewalian mereka di bawah pengasuhan orang tua. Antara anak lelaki dan anak perempuan, mereka punya posisi yang sama, meski hak dan kewajiban yang dimiliki oleh keduanya berbeda. seorang anak perempuan juga diperbolehkan untuk keluar rumahnya, selama diizinkan oleh walinya. Allah SWT berfirman : " Dan orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereke menyuruh mengerjakan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasulnya."(At Taubah 71). Dalam sejarah, ditemukan banyak sahabat wanita yang punya aktivitas dakwah, seperti Ummu Athiyah, Ummu Imarah, Ummu Yasir (Sumayyah), bahkan Aisyah binti Abu Bakr, memimpin perang Jamal.

Aktivitas di luar rumah tersebut dibatasi dengan batasan syara’, dan hal ini juga berlaku atas diri kaum lelaki. Mereka diutamakan untuk berkumpul dengan sesame perempuan, atau diutamakan pula bersama muhrimnya. Tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan syariat seperti minum khamr, berzina, berduaan dengan seorang lelaki bukan mahram, dan seterusnya.

Apa yang dilakukan oleh RA Kartini, adalah representasi dari emansipasi wanita yang sesuai dengan ajaran Islam dan nilai kebangsaan. RA Kartini seorang yang bersedia menikah (walaupun dengan sistem poligami), beraktivitas dengan izin suaminya, bahkan melahirkan seorang anaknya, (beliau meninggal sesudah melahirkan).

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply