Select Menu

Slider

Travel

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing

» » Bagaimana Membahagiakan Pasangan (Suami / Istri)
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama




Mempunyai pasangan dalam Islam hukumnya wajib. Dalam Islam tidak dikenal dengan istilah kehidupan selibat. Karena sunnatullah manusia adalah hidup berpasangan, membentuk keluarga. Berumah tangga itu bagaikan berorganisasi, dengan visi membentuk keluarga sakinah mawadah wa rohmah. Sedangkan misi mereka adalah saling menutupi kekurangan masing-masing, menyembunyikan aib (kesalahan dan kekhilafan) pasangannya di depan umum. Dalam al Qur’an Allah berfirman dalam Surat Al Baqoroh ayat ke 187: “Mereka (kaum perempuan) adalah pakaian buat kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka).

Fungsi pakaian selain untuk menutup aurat adalah untuk berlindung diri dari hawa. Oleh karena itu, mereka harus kompak dan saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Posisi antara suami dan istri adalah berimbang, tetapi sebagaimana ‘organisasi’ kehidupan keluarga harus ada pemimpinnya, yaitu Sang Suami.  Tugas suami layaknya sopir, sedangkan menjadikan keluarga ‘sakinah, mawadah, wa rohmah’ adalah tujuannya.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, dengan apa-apa yang telah Allah sebagian mereka dari sebagian yang lainnya, dan dengan apa-apa yang telah mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). (An-Nisa’ : 34)

Dalam ayat di atas menjelaskan keluarga secara ideal, bahwa lelaki bekerja dan menafkahi keluarganya, sedangkan seorang istri berada di rumah. Bukan berarti wanita tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah, selama mereka mampu menjaga dirinya. Jika penghasilan yang dihasilkan oleh suami lebih rendah, maka hal itu tidak menggugurkan posisi suami sebagai seorang imam keluarga, dan tidak menggugurkan kewajiban seorang istri untuk menaatinya.

Seorang istri berhak menegur suami, jika dirasa selama memimpin bahtera rumah tangga, sang suami bertindak kontraproduktif terhadap tujuan dari rumahtangga itu sendiri. Seperti Imam, ketika melakukan kesalahan, maka si makmum boleh menegur si Imam. Jika dirasa bersalah, maka suami harus menurut kata istrinya. Karena posisi Imam ini bukan posisi tanpa tanggungjawab sama sekali. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, Nabi bersabda;

“Kullu-kum roo’in wa kullu-kum mas-uulun ‘an roo’iyatihi .. wa ar rajulu roo’in ‘alaa ahli baitihi wa huwa mas-uulun ‘an roo’iyyatihi.

Setiap dari kalian adalah pemimpin dan kamu semua harus bertanggungjawab terhadap apa yang kamu pimpin. Dan laki-laki adalah pemimpin keluarganya dan dia bertanggungjawab terhadap apa-apa yang dipimpinnya. (Muslim)

Pertanggungjawaban utama seorang suami kepada keluarganya tidak hanya memberi nutrisi untuk kelangsungan hidup, tetapi tanggungjawab lebih pentingnya lagi adalah menyelamatkan diri dan keluarganya dari siksa api neraka, sebagaimana firman Allah “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka” (At Tahrim : 6). Sehingga suami harus dapat membimbing istri dan anak-anaknya kepada perbuatan yang terpuji dan diridhai oleh Allah swt. Oleh karena itu, seorang lelaki yang hendak menikah, harus berusaha merubah diri menjadi lebih baik lagi. Dan dalam kehidupan bermasyarakat kita, seorang lelaki yang telah menikah, merubah kebiasaan mereka, dari kebiasaan bergadang sampai dini hari atau menghabiskan waktu bersama teman koleganya, menjadi kebiasaan-kebiasaan yang tidak memboroskan waktu untuk bersenang-senang.

Suami ketika membimbing istri, mestinya dengan cara yang baik, lembut dan tidak dengan kekerasan. Hal ini disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw

Nasehatilah para wanita dengan baik, sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (laki-laki) sebelah kanan, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya, maka seandainya engkau berusaha meluruskannya, niscaya dia akan patah dan kalau engkau biarkan, ia akan tetap bengkok. Nasehatilah para wanita dengan baik.” (HR. Bukhari-Muslim).

Hadits di atas adalah sebuah perumpaan tentang tulang rusuk yang bengkok. Untuk meluruskan tulang rusuk yang bengkok, tidak dengan membiarkan terus menerus, karena akan tetap bengkok. Jika dipaksakan, maka tulang tersebut akan patah. Oleh karena itu, seorang suami harus menasehati dengan cara baik dan lembut, bukan dengan kekerasan atau terkesan sangat memaksa. Gambaran suami yang ideal dalam islam adalah sikap mengayomi, karena hak istri itu adalah mendapatkan perlakuan yang baik dan perlindungan dari suaminya.

Allah berfirman dalam Surat An Nisa’ 19, yaitu wa ‘aasyiruu-hunna bil ma’ruf yang artinya ‘Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik’. Maksud kata ‘ma’ruf’ di sini adalah bertindak dan melakukan dengan selayaknya. Kewajiban suami tidak hanya memberikan ‘uang’ kepada istri, sebagaiman yang banyak dipahami sebagian dari kita. Kata ‘ma’ruf’ dalam ayat di atas adalah memperlakukan istri tidak hanya pada segi materi, melainkan juga dalam hal masalah psikis. Atau dalam bahasa kita adalah ‘membahagiakan’. Sehingga tugas utama dari seorang suami adalah membahagiakan istri. Sabda Nabi;  Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)

Tradisi Islam menyebut tujuan dari keluarga dengan istilah ‘keluarga sakinah’. Hal ini merujuk pada pemakaian kata ‘litaskunu’ dalam surat Ar Rum ayat 21

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri (manusia), supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah)kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang(mawaddah wa warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kemahaan-Nya) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum : 21)

Istilah ‘litaskunu’ artinya ‘agar merasa tentram’, maksudnya adalah Allah menciptakan perjodohan agar manusia merasa tentram. Dari sini lah diambil ism menjadi sakinah. Istri merasa tentram berteduh bagi suami, begitu juga sebaliknya istri menjadi tempat tentram untuk berteduh suami. Hal ini mengingatkan kita pada Ummul Mukminin, Siti Khadijah, yang selama hidupnya menjadi tempat berteduh nabi, baik di awal pernikahan, ketika pertama kali menerima wahyu, sampai pembelaannya yang luar biasa terhadap diri rasul. Sehingga menciptakan ketenangan dan ketentraman adalah kewajiban sekaligus hak, bagi suami istri.

Istilah lainnya untuk menyebut tujuan keluarga adalah mawaddah wa rahmah. Mawaddah menurut Ibn Katsir artinya cinta atau mahabbah. Mahabbah dari kata ‘habba-yuhibbu’ atau setara dengan kata ‘love’ dalam bahasa inggrisnya. Sedangkan kata ‘Rahmah’ berarti kasih sayang, implementasi dari rahmah ini adalah saling melindungi, saling memahami satu sama lainnya, saling membantu, dan seterusnya. Sehingga ada perbedaan antara mawaddah dan rahmah.


Cukup dengan mengamalkan ketiga tujuan dari keluarga ini (sakinah, mawaddah wa rohmah), ditambah mengetahui posisi suami sebagai imam, dan istri sebagai makmum,  maka kita mengetahui bagaimana cara membahagiakan pasangannya.

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply