Mempunyai
pasangan dalam Islam hukumnya wajib. Dalam Islam tidak dikenal dengan istilah
kehidupan selibat. Karena sunnatullah manusia adalah hidup berpasangan,
membentuk keluarga. Berumah tangga itu bagaikan berorganisasi, dengan visi
membentuk keluarga sakinah mawadah wa rohmah. Sedangkan misi mereka adalah
saling menutupi kekurangan masing-masing, menyembunyikan aib (kesalahan dan
kekhilafan) pasangannya di depan umum. Dalam al Qur’an Allah berfirman dalam
Surat Al Baqoroh ayat ke 187: “Mereka
(kaum perempuan) adalah pakaian buat kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka).
Fungsi
pakaian selain untuk menutup aurat adalah untuk berlindung diri dari hawa. Oleh
karena itu, mereka harus kompak dan saling membutuhkan antara satu dengan
lainnya. Posisi antara suami dan istri adalah berimbang, tetapi sebagaimana
‘organisasi’ kehidupan keluarga harus ada pemimpinnya, yaitu Sang Suami. Tugas suami layaknya sopir, sedangkan menjadikan
keluarga ‘sakinah, mawadah, wa rohmah’ adalah tujuannya.
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, dengan apa-apa yang telah Allah
sebagian mereka dari sebagian yang lainnya, dan dengan apa-apa yang telah
mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). (An-Nisa’ : 34)
Dalam
ayat di atas menjelaskan keluarga secara ideal, bahwa lelaki bekerja dan
menafkahi keluarganya, sedangkan seorang istri berada di rumah. Bukan berarti
wanita tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah, selama mereka mampu
menjaga dirinya. Jika penghasilan yang dihasilkan oleh suami lebih rendah, maka
hal itu tidak menggugurkan posisi suami sebagai seorang imam keluarga, dan
tidak menggugurkan kewajiban seorang istri untuk menaatinya.
Seorang
istri berhak menegur suami, jika dirasa selama memimpin bahtera rumah tangga,
sang suami bertindak kontraproduktif terhadap tujuan dari rumahtangga itu
sendiri. Seperti Imam, ketika melakukan kesalahan, maka si makmum boleh menegur
si Imam. Jika dirasa bersalah, maka suami harus menurut kata istrinya. Karena
posisi Imam ini bukan posisi tanpa tanggungjawab sama sekali. Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh muslim, Nabi bersabda;
“Kullu-kum roo’in wa kullu-kum
mas-uulun ‘an roo’iyatihi .. wa ar rajulu roo’in ‘alaa ahli baitihi wa huwa
mas-uulun ‘an roo’iyyatihi.
Setiap dari kalian adalah pemimpin dan
kamu semua harus bertanggungjawab terhadap apa yang kamu pimpin. Dan laki-laki
adalah pemimpin keluarganya dan dia bertanggungjawab terhadap apa-apa yang
dipimpinnya. (Muslim)
Pertanggungjawaban
utama seorang suami kepada keluarganya tidak hanya memberi nutrisi untuk
kelangsungan hidup, tetapi tanggungjawab lebih pentingnya lagi adalah
menyelamatkan diri dan keluarganya dari siksa api neraka, sebagaimana firman
Allah “Jagalah dirimu dan keluargamu dari
siksa api neraka” (At Tahrim : 6). Sehingga suami harus dapat membimbing
istri dan anak-anaknya kepada perbuatan yang terpuji dan diridhai oleh Allah
swt. Oleh karena itu, seorang lelaki yang hendak menikah, harus berusaha
merubah diri menjadi lebih baik lagi. Dan dalam kehidupan bermasyarakat kita,
seorang lelaki yang telah menikah, merubah kebiasaan mereka, dari kebiasaan
bergadang sampai dini hari atau menghabiskan waktu bersama teman koleganya,
menjadi kebiasaan-kebiasaan yang tidak memboroskan waktu untuk
bersenang-senang.
Suami
ketika membimbing istri, mestinya dengan cara yang baik, lembut dan tidak
dengan kekerasan. Hal ini disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw
“Nasehatilah para wanita dengan
baik, sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (laki-laki) sebelah
kanan, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya, maka
seandainya engkau berusaha meluruskannya, niscaya dia akan patah dan kalau engkau
biarkan, ia akan tetap bengkok. Nasehatilah para wanita dengan baik.” (HR.
Bukhari-Muslim).
Hadits di atas adalah sebuah perumpaan
tentang tulang rusuk yang bengkok. Untuk meluruskan tulang rusuk yang bengkok,
tidak dengan membiarkan terus menerus, karena akan tetap bengkok. Jika
dipaksakan, maka tulang tersebut akan patah. Oleh karena itu, seorang suami
harus menasehati dengan cara baik dan lembut, bukan dengan kekerasan atau
terkesan sangat memaksa. Gambaran suami yang ideal dalam islam adalah sikap
mengayomi, karena hak istri itu adalah mendapatkan perlakuan yang baik dan
perlindungan dari suaminya.
Allah
berfirman dalam Surat An Nisa’ 19, yaitu wa
‘aasyiruu-hunna bil ma’ruf yang artinya ‘Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik’. Maksud kata ‘ma’ruf’
di sini adalah bertindak dan melakukan dengan selayaknya. Kewajiban suami tidak
hanya memberikan ‘uang’ kepada istri, sebagaiman yang banyak dipahami sebagian
dari kita. Kata ‘ma’ruf’ dalam ayat di atas adalah memperlakukan istri tidak
hanya pada segi materi, melainkan juga dalam hal masalah psikis. Atau dalam
bahasa kita adalah ‘membahagiakan’. Sehingga tugas utama dari seorang suami
adalah membahagiakan istri. Sabda Nabi; Orang mukmin yang paling sempurna imannya
ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling ramah terhadap
istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
Tradisi
Islam menyebut tujuan dari keluarga dengan istilah ‘keluarga sakinah’. Hal ini
merujuk pada pemakaian kata ‘litaskunu’
dalam surat Ar Rum ayat 21
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً
وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri (manusia),
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah)kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa cinta dan kasih sayang(mawaddah wa warahmah). Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kemahaan-Nya) bagi
kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum : 21)
Istilah
‘litaskunu’ artinya ‘agar merasa
tentram’, maksudnya adalah Allah menciptakan perjodohan agar manusia merasa
tentram. Dari sini lah diambil ism
menjadi sakinah. Istri merasa tentram
berteduh bagi suami, begitu juga sebaliknya istri menjadi tempat tentram untuk
berteduh suami. Hal ini mengingatkan kita pada Ummul Mukminin, Siti Khadijah,
yang selama hidupnya menjadi tempat berteduh nabi, baik di awal pernikahan,
ketika pertama kali menerima wahyu, sampai pembelaannya yang luar biasa
terhadap diri rasul. Sehingga menciptakan ketenangan dan ketentraman adalah
kewajiban sekaligus hak, bagi suami istri.
Istilah
lainnya untuk menyebut tujuan keluarga adalah mawaddah wa rahmah. Mawaddah
menurut Ibn Katsir artinya cinta atau mahabbah.
Mahabbah dari kata ‘habba-yuhibbu’ atau setara dengan kata
‘love’ dalam bahasa inggrisnya. Sedangkan kata ‘Rahmah’ berarti kasih sayang,
implementasi dari rahmah ini adalah saling melindungi, saling memahami satu
sama lainnya, saling membantu, dan seterusnya. Sehingga ada perbedaan antara
mawaddah dan rahmah.
Cukup
dengan mengamalkan ketiga tujuan dari keluarga ini (sakinah, mawaddah wa
rohmah), ditambah mengetahui posisi suami sebagai imam, dan istri sebagai
makmum, maka kita mengetahui bagaimana
cara membahagiakan pasangannya.
Tidak ada komentar