Select Menu

Slider

Travel

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing

      


     1.      Amalan Sunnah di Bulan Muharram

Salah satu keistimewaan bulan Muharram sebenarnya bukan terletak pada tanggal 1 Muharram. Tetapi pada bulan Muharram itu sendiri, sebagai salah satu dari 4 Bulan Haram (keempatnya adalah; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram & Shofar). Muharram artinya waktu yang diharamkan untuk menzalimi diri kita untuk berbuat dosa dan maksiyat. Allah berfirman;

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu
(QS At-Taubah: 36)

Menurut Tafsir Ibn Hatim, berbuat maksiyat di bulan-bulan tersebut dosanya lebih besar daripada dilakukan di bulan-bulan lainnya.

Pada bulan ini, para ulama melarang untuk melakukan peperangan. Sebagian ulama membolehkan melakukan peperangan di bulan ini, dengan catatan perang dimulai sebelum tiba bulan Muharram, dan masih berlangsung di bulan ini. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan perang modern? Yang tidak hanya menggunakan peralatan canggih, melainkan juga model perang urat saraf, perang opini/media, penggunaan jaringan spionase, penyusupan, dst. Sehingga perlu ijtihad di sini.

Selama bulan Muharram, kita dianjurkan untuk berpuasa selama di bulan ini, khusunya di hari Asyura, yang jatuh pada tanggal 9 Muharram. Tanggal ini disunnahkan berpuasa, karena di hari itu hari dimana Nabi Musa as & Nabi Harun, beserta para pengikutnya, diselamatkan oleh Allah dari kejaran Fir’aun.

2. Tradisi di Bulan Muharram

Bulan Muharram dalam prakteknya tidak hanya diwujudkan dengan menjalankan sunnah-sunnah Nabi sebagaimana di atas, melainkan juga dijalankan tradisi-tradisi. Banyak tradisi yang dijalankan pada bulan Muharram, khususnya pada tanggal 1 Muharram dan tanggal 9 Muharram. Beberapa tradisi tersebut diantaranya adalah;

           a.      Tradisi yang bertentangan dengan Syariat Islam

Tidak semua tradisi selaras dengan tradisi islam. Salah satunya adalah Tradisi ritual Malam 1 Suro Dalam sistem penanggalan bulan Jawa, bulan Muharram disebut dengan bulan Suro. Diambil dari nama ‘Asyura. Yaitu salah satu hari yang ada di bulan tersebut. Tradisi ini dijalankan di kedua kraton mataram islam, yaitu Kraton Kasunanan Surakarta dan Kraton Kasultanan Yogyakarta.

Sebenarnya tradisi ini adalah tradisi yang baru, karena tradisi ini diadakan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1976, yang menganjurkan kraton untuk melakukan ritual di malam itu. Ketika itu Pak Harto masih memiliki kepercayaan kejawen yang kuat. Peserta kirab kraton ini sampai ratusan bahkan ribuan orang.

Dapat dibayangkan barisan orang memadati jalan dengan panjang iringan sekitar satu kilometer. Mereka berjalan mengelilingi sisi luar beteng kraton, dikenal dengan istilah mubeng beteng.

Di kawasan parangtritis, Bantul, setiap malam satu suro, dipadati dengan orang-orang. Mereka pada umumnya para pemuda yang ingin menikmati keramaian. Sedangkan sebagian kecil mereka, melakukan ritual rutin di Puri Parangkusumo (sebelah barat Pantai Parangtritis).

Beberapa lokasi yang dipercaya menyimpan sejarah para tokoh dahulu, seperti peninggalan wali, raja mataram, dan sebagainya seringkali digunakan untuk ngalap berkah. Bahkan pada tanggal 1 Suro dilakukan juga acara pajimasan, yaitu membersihkan berbagai pusaka kraton yang dipercaya mengandung tuah, dan sisa-sia airnya diperebutkan oleh banyak orang, karena dipercaya akan mendatangkan rezeki dan mencegah dari bala.

Tradisi ini jelas bertentangan dengan syariat islam. Karena meminta kepada sesuatu yang ghaib di luar Allah, dan di luar ketentuan syariat Islam.   

Tradisi lain yang bertentangan dengan syariat Islam adalah tradisi menyiksa diri di hari Asyura, tanggal 9 Muharram. Mereka menyiksa diri, dengan pedang dipukul-pukulkan di kepala hingga berdarah, di hari itu untuk memperingati terbunuhnya Sayyidina Husein Ibn Ali Ibn Tholib, di Karbala, Irak. Tradisi ini biasanya diperingati oleh orang-orang Syiah. Tradisi ini haram hukumnya dilakukan, apalagi oleh  kaum muslimin. 

           b.      Tradisi yang diperbolehkan dalam Syariat

Banyak tradisi yang dilakukan dan diinisasi ummat Islam pada bulan ini. Seperti tradisi gerak jalan bareng. Mengisi malam 1 Muharram dengan menyeenggarakan pengajian, bersholawat atau bermujahadah. Adalah tradisi-tradisi bersifat muamalah dan diperbolehkan dalam islam. Atau mengisinya dengan pembacaan kitab maulid (baik berbasis Kitab Simtudduror, kitab Ad diba’i ataupun kitab al Barzanzi) & Qasidah.


Kebolehan dalam menentukan boleh tidaknya sebuah tradisi dilarang adalah, apakah tradisi tersebut bertentangan dengan syariat atau tidak. Jika tidak bertentangan, maka hendaklah diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, baik secara agama maupun kemaslahatan ummat, misalnya bersih-bersih kampung.
- -


    A.     Pendahuluan

Menyembelih Hewan Kurban di Hari Raya Idul Adha dilakukan dengan cara-cara sebagaimana ditentukan oleh Rasulullah. Terdapat beberapa rukun dalam penyembelihan hewan kurban di Hari Raya Idul Adha yang wajib dilakukan (jika tidak maka akan tidak sah kurbannya). Ada yang berupa amalan sunnah atau anjuran untuk dikerjakan ketika berkurban, ada pula larangannya. Sagnat penting untuk memahami secara teknis berkurban, agar berkurban secara benar dan sah menurut syariat islam.

   B.     Ketentuan Orang yang Berkurban

Tata cara ibadah kurban diatur sedemikian rupa dalam agama Islam. Ada banyak ketentuan dalam melakukan kurban. Orang yang melakukan kurban hendak lah adalah orang muslim. Tidak akan diterima pahalanya jika yang melakukan kurban adalah orang kafir. Jika memaksa, maka itu terhitung hibah, bukan qurban. Jika ada seorang kafir yang ingin ikutan kurban, maka kurban mesti disendirikan, dari kurban milik kaum muslimin.

Ketentuan lainnya adalah baligh (dewasa). Begitu  juga seorang yang berkurban adalah orang yang bermukim atau bukan seorang musafir (menurut pandangan lainnya, hokum berkurban untuk musafir tetap  sah).

Ketentuan lainnya bagi seorang yang hendak berkurban adalah pemilik penuh dari hewan ternak yang akan ia kurbankan. Tidak diperkenankan seorang berhutang untuk melakukan kurban.
   
C.     Ketentuan Jenis Hewan Kurban

Hewan yang berupa sapi atau kerbau berlaku untuk 7 orang, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Jabir, bahwa ia bersama rasulullah menyembelih qurban, satu ekor untuk untuk tujuh orang, dan satu ekor sapi untuk tujuh orang, sedangkan satu ekor domba dan kambing untuk satu orang, sedangkan unta untuk 10 orang.

Ketentuan lainnya dalam berkurban adalah binatang kurban hendaklah tidak cacat, seperti pincang, terlalu kurus, dan cacat beberapa bagian fisiknya seperti bunting salah satu kaki atau tangannya. Berkurban hendaklah dengan sesembelihan yang gemuk, sehat, dan tidak cacat. Sebagaimana hadits berikut ini;
l-Bara’ Ibnu ‘Azib ra berkata: Rasulullah SAW berdiri di tengah-tengah kami dan bersabda: “Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: yang tampak jelas butanya, tampak jelas sakitnya, tampak jelas pincangnya, dan hewan tua yang tidak bersum-sum.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat.
Ali ra berkata: Rasulullah SAW memerintahkan kami agar memeriksa mata dan telinga, dan agar kami tidak mengurbankan hewan yang buta, yang terpotong telinga bagian depannya atau belakangnya, yang robek telinganya, dan tidak pula yang ompong gigi depannya. Riwayat Ahmad dan Imam Empat.
Selain hewan kurban yang sehat, ketentuan lainnya adalah hewan tersebut harus lah sampai usia tertentu. Bagi domba jika telah mencapai usia 1 tahun atau lebih, kambing ataupun sapid an kerbau telah berusia dua tahun lebih.

D.    Waktu Berkurban
Waktu pelaksanaan kurban adalah selama 4 hari, yaitu ketika hari raya Idul Adha, dan tiga hari tasyrik atau pada tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah. Jika dilaksanakan di luar waktu tersebut, maka tidak dianggap sebagai kurban, melainkan dianggap sebagai sedekah semata. Sebagaimana hadits rasulullah saw; “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Idul Adha, maka itu tidak dianggap sebagai kurban (nusuk). Itu hanya lah daging biasa untuk dimakan keluarganya (HR Bukhori dan Muslim).

E.     Beberapa ketentuan dalam berkurban

1.      Disunnahkan Menyembelih Memakai Tangannya Sendiri
Dalam berkurban dianjurkan untuk menyembelih hewan sendiri. Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang kurban rasulullah dilakukan dengan tangannya sendiri, sebagaimana hadits berikut;
Dari Anas Ibnu Malik ra bahwa Nabi SAW biasanya berkurban dua ekor kambing kibas bertanduk. Beliau menyebut nama Allah dan bertakbir, dan beliau meletakkan kaki beliau di atas dahi binatang itu. Dalam suatu lafadz: Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri. Dalam suatu lafadz: Dua ekor kambing gemuk. – Dalam suatu lafadz riwayat Muslim: Beliau membaca bismillahi wallaahu akbar.” [Bulughul Marom]
Menurut riwayatnya dari hadits ‘Aisyah ra bahwa beliau pernah menyuruh dibawakan dua ekor kambing kibas bertanduk yang kaki, perut, dan sekitar matanya berwarna hitam. Maka dibawakanlah hewai itu kepada beliau. Beliau bersabda kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, ambillah pisau.” Kemudian bersabda lagi: “Asahlah dengan batu.” ‘Aisyah melaksanakannya. Setelah itu beliau mengambil pisau dan kambing, lalu membaringkannya, dan menyembelihnya seraya berdoa: “Dengan nama Allah. Ya Allah, terimalah (kurban ini) dari Muhammad, keluarganya, dan umatnya.” Kemudian beliau berkurban dengannya. [Bulughul Marom]
2.      Boleh Menyewa Jagal Tetapi Tak Boleh Mengupah dengan bagian Hewan Kurban (kulit, daging, dst)
Diperbolehkan juga untuk menyerahkan kepada orang lain (atau tukang jagal), dengan ketentuan orang tersebut betul-betul dapat dipercaya, dan upah untuk tukang jagal, hendak lah bukan dari kurban, melainkan disendirikan, misalnya berupa upah uang. Dianjurkan untuk tidak memberikan bagian dari hewan kurban, seperti (pada lazimnya) bagian kulit.
Sebagaimana hadits Nabi; Rasulullah saw. pernah menyuruhku untuk mengurusi hewan kurbannya, menyedekahkan dagingnya, kulitnya serta bagian-bagiannya yang terbaik dan melarangku memberikannya kepada tukang jagal. Beliau bersabda: Kita akan memberinya dari yang kita miliki. (Shahih Muslim No.2320)

Dalam praktiknya, kulit biasanya oleh shohibul qurban diberikan ke masjid. Dari pihak masjid, dijual, dan hasilnya masuk ke kas masjid. Hal seperti ini diperbolehkan. Sedangkan untuk upah jagal, lebih baik dari shohibul qurban, atau biasanya lewat kas masjid untuk menyewa jagal. Jika demikian adanya, pihak takmir masjid harus menyewa jagal yang benar-benar memahami ketentuan menyembelih dalam islam.

F.     Teknis Pemotongan Hewan Kurban
1. Wajib Membaca lafazh Bismillah.

ketentuan ketika menyembelih kurban yang tidak dapat ditinggalkan atau wajib hukumnya adalah membaca basmalah “bismillahirrahmanirrahim”. Syarat ini adalah mutlak, tidak boleh ditinggalkan baik karena alas an lupa, tdak tahu, apalagi sengaja. Jika demikian, maka kurban tersebut tidak dianggap sah. Ketentuan ini dari Allah yaitu Surat al An’am 121 “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An’am: 121) . ketentuan lainnya adalah yang menyembelih harus lah seorang muslim. Jika memilih seorang jagal, haruslah jagal yang muslim dan amanah.

2.      Sunnah bertakbir dan Membaca doa bagi shohibul Qurban
Disunnahkan pula ketika menyembelih diiringi dengan suara takbir. Kemudian diikutibacaan “hadza minka wa laka” (Abu Dawud) atau hadza minka wa laka ‘anni (ini dari Kamu untuk Kamu, sesembahan dari kami) jika shohibul qurban menyembelih sendiri, atau menyebut hadza minka wa laka ‘an fulan (disebutkan nama shohibul qurbannya) diucapkan oleh jagal (pihak lain) untuk mewakili shohibul qurban, kemudian diiringi dengan doa “Allahumma taqobbal minni” (Ya Allah kabulkan lah kurban hamba), jika menyembelih sendiri, atau “Allahumma taqobbal min fulan (menyebut shohibul qurban), jika memakai jasa orang lain (Jagal).

     3.      Sunnahnya Menempatkan Posisi Hewan Kurban, Menggunakan Pisau tajam dan Menenangkan Hewan Kurban terlebih dahulu.

Penyembeihan disunnahkan pula dengan meletakkan kakinya di leher hewan yang akan disembelihnya. Hewan yang disembelih dihadapkan ke kiblat di atas lambung kirinya.Dalam menyembelih, gunakan pisau yang tjam, agar leher hewan cepat putus, dan hewan tidak merasakan rasa sakit yang lama ketika disembelih,

Bentuk kesunnahan dalam menyembelih kurban adalah menenangkan hewan kurban sebelum disembelih, berdasarkan hadits Nabi Dalilnya : “Jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya kalian menajamkan pisau dan hendaknya ia menenangkan hewan sembelihannya” (HR. Muslim). Banyak cara yang dilakukan untuk menenangkan hewan, seperti memisahkan hewan kurban dengan hewan kurban lainnya. Adapaun tempat pelaksanaan penyembelihan dilakukan di lapangan tidak ditengah pemukiman penduduk.

   G.    Distribusi Daging hewan kurban
Distribusi daging tidak diperkenankan dalam keadaan masak, melainkan dalam potongan-potongan daging hewan kurban. Tetapi diperbolehkan untuk menikmati daging kurban, dengan cara dimasak bersama-sama, dengan ketentuan harus seijin shohibul qurban, atau pihak panitia yang sudah diberikan amanah oleh shohibul qurban untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kurbannya.

sering ada yang menanyakan apakah mesti hasil penyembelihan qurban dibagi 1/3 untuk shohibul qurban, 1/3 untuk sedekah pada fakir miskin dan 1/3 sebagai hadiah. Lalu apakah hasil qurban boleh dimakan oleh orang yang berqurban (shohibul qurban)? Pembahasan ini moga bisa memberikan jawaban.

Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah memberikan keterangan, “Kebanyakan ulama menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan bersedekah dengan sepertiga hewan qurban, memberi makan dengan sepertiganya dan sepertiganya lagi dimakan oleh dirinya dan keluarga. Namun riwayat-riwayat tersebut sebenarnya adalah riwayat yang lemah. Sehingga yang lebih tepat hal ini dikembalikan pada keputusan orang yang berqurban (shohibul qurban). Seandainya ia ingin sedekahkan seluruh hasil qurbannya, hal itu diperbolehkan. Dalilnya, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu,

Hewan kurban yang telah disembelih, dagingnya dipotong-potong untuk dibagikan kepada orang lain, dianjurkan kepada orang faqir miskin, sedangkan sebagainnya dinikmati sendiri. Ketentuan pembagian daging hewan kurban dapat dilihat dalam hadits berikut;

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan dia untuk mengurusi unta-unta hadyu. Beliau memerintah untuk membagi semua daging qurbannya, kulit dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin) untuk orang-orang miskin. Dan beliau tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun dari qurban itu kepada tukang jagal (sebagai upah)

Dalam tradisi masjid kita, hewan kurban yang telah dipotng-potong, sebagian dari daging kurban disendirikan diperuntukkan untuk shohibul qurban, sedangkan sisanya dibagikan, berdasarkan ketentuan dari panita penyelenggara. Ada pun ketentuan 1/3 yang diberikan kepada orang lain tidak didasarkan pada hadits yang shohih, atau lewat periwayatan hadits yang lemah. Menurut dewah fatwa di Saudi, Al Lajnah ad Daimah, menyatakan bahwa pembagian hewan kurban bisa lebih atau kurang dari 1/3. Tetapi dalam tradisi kita yang hidup serba berdampingan, 1/3 atau kurang darinya, diperuntukkan kepada shahibul qurban, dan sisanya (bagian terbesarnya) dibagi-bagikan sesuai ketentuan masjid penyelenggara.

   H.    Kesimpulan


Tata Cara melakukan ibadah kurban harus dipahami secara benar. Baik dari ketentuan orang yang berkurban, jenis atau kualitas binatang kurban, sampai tata cara penyembelihan. Begitu juga dengan ketentuan menyewa jagal harus diperhatikan, karena hal ini juga sangat penting. Jagal haruslah seorang muslim yang tahu cara yang benar menyembelih hewan sesuai dengan ketentuan syariat islam. 
- -




   A.     Definisi Kurban & Idul Adha

Kurban berasal dari bahasa arab, yaitu qurban. Sebuah kata yang diambil dari kata qaruba – yaqrabu, yang artinya mendekati. Sehingga secara istilah, qurban dapat berarti sebuah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik dalam bentuk sesembelihan maupun dalam bentuk lainnya.

Qurban sering diidentikkan dengan Idul Adha, sebuah hari yang dikhususkan kepada kaum muslimin untuk menyembelih hewan ternak dalam rangka memenuhi perintah Allah. Sedangkan Adha berasal dari kata  al udh-hiyah yang berarti hewan ternak seperti unta, sapi dan kambing.

Sehingga, Kurban di Hari Idul Adha, berarti mendekatkan diri kepada Allah dalam bentuk sesembelihan hewan ternak di hari yang ditetapkan oleh Allah atas waktunya.

   B.     Perintah Berkurban

Perintah berkurban dapat dilihat dari Surat al Kautsar 1-3: Inna a’thoinaaka al kautsar fasholli lirobbika wan-har in nasyaa ni-aka huwa al abtar.

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus.” (Al-Kautsar: 1 — 3).

   C.     Hukum Berkurban

Hukum berkurban adalah sunnah muakkad atau sunnah yang ditekankan bagi yang mampu melaksanakannya. Orang yang telah mampu berkurban, maka hukumnya makruh meninggalkannya.  Hukum berkurban sunnah berdasarkan riwayat dari Baihaqi yang menyebutkan bahwa sahabat rasulullah, Abu Bakar dan Umar, sengaja tidak berkurban untuk mengajarkan bahwa hokum berkurban tidak lah wajib. 

   D.    Keutamaan dalam berkurban

1.      Hewan yang dikurbankan akan mendatangi shohibul qurban kelak di Hari Akhir
Keutamaan dalam berkurban dapat dilihat dari hadits rasulullah saw berikut Dari Aisyah ra, Nabi saw bersabda, “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT dari menyembelih hewan Kurban. Sesungguhnya hewan Kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah Kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) Kurban itu.” (HR Tirmidzi).

2.      Lebih dari Sekedar Sedekah
dasarkan hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat,"Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama."

   E.     Sejarah Kurban

1.      Kisah Habil & Qabil
Sejarah perintah berkurban berusia sangat lama, bahkan ketika awal keberadaan manusia di muka bumi, yaitu peristiwa yang dikenal dengan “Habil dan Qabil”, dua orang putra Nabi Adam yang diperintahkan oleh Allah untuk berkurban, tetapi hanya habil yang diterima kurbannya. Sebagaimana yang tertuang dalam firman Allah

“ceritakan lah kepada mereka kisah kedua putra adam (habil dan qabil) menurut yang sebenarnya, yaitu ketika keduanya mempersembakan qurban, maka diterima salah seorang dari mereka (habil) dan tidak diterima kurban dari yang lainnya (Qabil). Ia (qabil) berkata, “Aku akan membunuhmu”, berkata habil “Sesungguhnya Allah hanya menerima qurban dari orang-orang yang bertakwa” (Al maidah 27).

2.      Kisah Nabi Ibrahim & Ismail
Perintah untuk berkurban lainnya yang ternama dari kisah Nabi Ibrahim As. Bermula dari mimpi Nabi Ibrahim as mendapatkan perintah Allah untuk menyembelih anaknya. Ia sebelumnya hanya menyangka bahwa mimpi tersebut hanya lah bunga tidur. Tetapi mimpi tersebut berulang sampai tiga malam berturut-turut, maka Nabi Ibrahim baru menyadari bahwa mimpi tersebut tidak hanya sekedar mimpi, melainkan sebuah perintah Allah kepadanya lewat sebuah mimpi.  Kemudian ia mendatangi anaknya lalu menceritakan apa yang dialami dalam mimpinya. Sebagaimana kisah dalam ayat berikut;

“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 102 ).


Dalam ayat di atas, jawaban Nabi Ismail secara sangat teguh, ia rela dikurbankan, demi memenuhi perintah Allah. Kemudian Nabi Ibrahim menguatkan hatinya, karena perintah tersebut jelas sangat berat. Ketika Nabi Ibrahim menguatkan hatinya, ia mendapat godaan setan yang menggodanya  agar tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Setan tidak hanya menggoda Nabi Ibrahim, melainkan juga menggoda istri Nabi Ibrahim, Siti Hajar, yang ibu dari Nabi Ismail. Tetapi keluarga Nabi Ibrahim dapat melawan bujuk rayu setan, dengan melemparkannya dengan jumrah. Peristiwa pelemparan batu oleh keluarga Nabi Ibrahim ini ditujukan kepada setan, diperingati dengan melontar jumrah sebagai salah satu rukun haji.

Setelah melewati godaan dari setan ini, maka Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail pergi ke suatu tempat yang sunyi di Mina, dan berserah diri kepada Allah. Nabi Ismail dibaringkan oleh Nabi Ibrahim, kemudian Nabi Ibrahim mengarahkan pisau ke leher anaknya. Ketika hendak disembelih, Allah menggantikan Nabi Ismail dengan seekor sesembelihan domba yag besar. Menurut sebuah riwayat, menceritakan bahwa domba besar pengganti Nabi Ismail ini adalah domba kibas yang dulu pernah dikurbankan oleh Habil kepada Allah.


   F.     Kesimpulan

Perintah Kurban adalah perintah  berusia sangat tua, yaitu sejak awal mula keberadaan manusia. Kurban bukan lah sedekah biasa, keutamaannya jauh melebihi sedekah, atau sedekah yang nominalnya setara dengannya.

Pelaksanaan kurban adalah waktu yang ditentukan, yaitu antara 10 Dzulhijjah sampai dengan 13 Dzulhijjah. Jika di luar waktu tersebut, maka sudah tidak terhitung berkurban, tetapi sekedar sesembelihan biasa. Secara teknis, cara memotong hewan kurban, sama seperti memotong hewan ternak di hari-hari biasa, yaitu wajib membaca “bismillahirrahmanirrahim”. Tetapi secara niyat, harus dibedakan.

Pada umumnya, menyembelih hewan dilakukan dengan cara memakai jasa jagal (orang lain). Tetapi sebenarnya menyembelih hewan dengan memakai tangannya sendiri lebih disunnahkan. Masjid bisa menyewa jagal, tetapi upahnya tidak boleh berupa dari daging kurban, harus diambilkan dari para shohibul qurban, atau dari kas dengan persetujuan takmir masjid.


-





Ramadhan adalah bulan penuh berkah, yang didalamnya Allah menurunkan ayat-ayat al Qur’an lebih banyak dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Dalam bulan ini pula, Rasulullah pertama kalinya menerima wahyu pertamanya;

bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al Baqarah [2] : 185)

Bulan ini adalah bulan khusus, karena dalam bulan ini, nafsu manusia hendaknya dibelenggu. Nafsu-nafsu basyariyah yang sebelumnya diumbar, pada bulan ini nafsu-nafsu tersebut hendaknya diperketat, hingga tak memberi kesempatan bagi setan untuk membisikkan godaan-godaan untuk bermaksiyat kepadaNya. Sebaliknya, pada bulan ini memotivasi seluruh ummat islam untuk berlomba-lomba dalam melakukan kebajikan.


Dalam hal ini Rasulullah Saw, bersabda; “Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim)

Amalan-amalan yang dilakukan pada bulan ini, meliputi amalan wajib maupun sunnah. Diantaranya adalah;

PERTAMA; AMALAN PUASA.

Amalan ini adalah amalan fardhu ‘ain yang wajib dilakukan oleh tiap-tiap muslim yang mukallaf atau orang yang sudah terbebani hokum agama, atau akil baligh, sehat jasmani dan rohani. Puasa dilakukan selama bulan penuh. Oleh karena itu, bulan romadhon sering disebut dengan bulan puasa, atau syahrush shiyam.

Puasa tidak hanya dilakukan dengan cara menahan makan dan minum belaka, melainkan juga harus disertai dengan sepenuh jiwa dan niat ikhlas lillahi ta’ala, sebagaimana sabda Nabi’

Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena keimanannya dan karena mengharap ridha Allah, maka dosa-dosa sebelumnya diampuni. (HR Bukhari Muslim dan Abu Dawud)

Ketika menjalankan ibadah puasa, seorang muslim hendaknya menahan semua hal yang dirasa dapat merusak pahala puasanya, seperti bergunjing, mengumpat (berbicara kotor), tidak dapat menahan nafsu amarahnya, dan seterusnya.

Bagi sebagian orang, menahan lapar sembari menahan nafsunya adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Karena lapar cenderung membuat orang sulit menahan nafsunya. Tetapi hikmah yang diambil darinya adalah bahwa hal ini dapat menjadi tarbiyah atau pembelajaran yang sangat efektif untuk melatih kesabaran seseorang.

meski berpuasa hukumnya wajib, puasa ini terdapat rukhsah atau dapat meninggalkan puasa, tetapi dengan alasan yang benar-benar diijinkan oleh agama. Misalnya dalam keadaan sakit keras atau bepergian di tempat yang jauh, serta kondisi-kondisi lainnya yang tidak memungkinkannya untuk melakukan puasa. Dengan ketentuan, ia dapat mengganti di lain waktu. Atau jika seorang telah uzur, ia diwajibkan untuk membayar fidyah.



KEDUA: SHALAT TARAWIH & I’TIKAF

Jika pada malam hari, seorang muslim berpuasa dan menahan dari semua godaannya. Pada malam harinya, terdapat amaliyah yang ‘menunggu’, yaitu shalat tarawih. Tentang jumlah shalat tarawih ini, berbeda-beda antara satu ulama dengan ulama lainnya, ada yang menyatakan 8 raka’at ditambah dengan 3 witr. Ada pula yang menyatakan 20 raka’at ditambah dengan 3 witir, dan yang lainnya menyatakan bahwa jumlah shalat tarawih tidak lah terbatas.

Inti dari amaliyah tarawih adalah memperbanyak shalat sunnah di malam hari sebanyak-banyaknya demi meraih keridhaan Allah.

Barangsiapa yang melakukan qiyam ramadhan, didasari iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat. (HR. Bukhari 37 & Muslim 759).

Yang dimaksudkan dengan ‘qiyam ramadhan’ dalam hadits di atas adalah sholat sunnah yang dilakukan malam hari di bulan Ramadhan, atau dalam hal ini adalah shalat tarawih. Shalat Tarawih adalah sholat sunnah yang berbeda dengan sholat sunnah. Jika sholat sunnah pada umumnya lebih baik dikerjakan secara sendiri-sendiri, tetapi, shalat tarawih lebih baik dikerjakan secra berjama’ah.

Amalan di malam hari di bulan ramadhan, selain Tarawih adalah I’tikaf. Amalan I’tikaf adalah amalan yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad di 10 akhir bulan Ramadhan, sebagaimana hadits Nabi Muhammad Saw;

Dari Ibnu Umar RA (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah SAW selalu beri‘tikaf pada sepuluh hari yang penghabisan di bulan Ramadhan.” (Muttafaq ‘Alaih).

Tujuan dari I’tikaf adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan bertaqorrub kepadaNya, terutama ketika datangnya lailatul qadr di salah satu malamnya.

Ketentuan I’tikaf harus dilakukan di dalam masjid. Di Indonesia, selain masjid juga terdapat mushola, status hokum fiqh antara masjid dan mushola berbeda, sehingga I’tikaf kurang afdhol jika dilakukan di mushola., tetapi dilakukan di dalam masjid.


KETIGA: TADARUS & BERDZIKIR

Tadarus adalah amalan utama dikerjakan di bulan Ramadhan. Amalan ini meniru apa yang dilakukan oleh Nabi bersama malaikat Jibril, ketika di bulan puasa, yaitu mereka membaca dan mempelajari kitab al Qur’an.

Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan, apalagi pada bulan Ramadhan, ketika ditemui oleh Malaikat Jibril pada setiap malam pada bulan Ramadhan, dan mengajaknya membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Ketika ditemui Jibril, Rasulullah adalah lebih dermawan daripada angin yang ditiupkan.” (Muttafaq ‘Alaih).

Pada hadits di atas, kegiatan berinteraksi dengan al Qur’an tidak hanya membaca melainkan juga mempelajari. Dalam tradisi ummat islam, kegiatan al Qur’an dilakukan dengan cara melakukan seaman al Qur’an. Satu kelompok pembaca al Qur’an bergiliran membaca al Qur’an, sedangkan yang lain menyimak bacaan.

Mempelajari al Qur’an dapat pula bermakna lebih luas, yaitu mempelajari pelajaran-pelajaran di dalam al Qur’an yang didalamnya memuat petunjuk bagi ummat manusia.

Selain membaca dan mempelajari al Qur’an, amalan lainnya yang dianjurkan dilakukan di bulan puasa adaalah berdzikir, berisitighfar dan berdoa, baik itu dilakukan di siang hari maupun di malam hari. Dalam tradisi ummat islam, kegiatan dzikir dilakukan di sela-sela melakukan pekerjaan, atau ketika dalam keadaan luang.



KEEMPAT: SHADAQAH

Shodaqoh adalah anjuran yang dilakukan tiap hari kepada kaum muslimin. Tetapi shodaqoh lebih ditekankan lagi pada bulan puasa. Oleh karena itu dalam tradisi ummat islam saat ini adalah mereka suka melakukan hisab maal (perhitungan harta kekayaan), sehingga dapat diketahui nishab dan besaran jumlah zakat yang hendak dikeluarkannya dalam satu tahun.

Pada bulan ini, sebagian dari masyarakat melakukan sedekah dengan cara memberi ifthar (atau makanan bulan puasa) dengan menyediakan takjil di acara buka bersama di masjid-masjid. Sehingga seorang dapat terjamin kebutuhan pokoknya selama bulan ramadhan.

Penekanan shodaqoh pada bulan puasa didasarkan hadits-hadits nabi, yang menyatakan bahwa nabi pada bulan ini adalah orang yang lebih dermawan daripada bulan-bulan lainya. Terkait dengan menyediakan makanan untuk berbuka puasa, dapat dilihat pada ucapan Nabi sebagaimana berikut ini;

Barangsiapa yang memberi ifthar kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu Majah).

- -



Mempunyai pasangan dalam Islam hukumnya wajib. Dalam Islam tidak dikenal dengan istilah kehidupan selibat. Karena sunnatullah manusia adalah hidup berpasangan, membentuk keluarga. Berumah tangga itu bagaikan berorganisasi, dengan visi membentuk keluarga sakinah mawadah wa rohmah. Sedangkan misi mereka adalah saling menutupi kekurangan masing-masing, menyembunyikan aib (kesalahan dan kekhilafan) pasangannya di depan umum. Dalam al Qur’an Allah berfirman dalam Surat Al Baqoroh ayat ke 187: “Mereka (kaum perempuan) adalah pakaian buat kamu dan kamu adalah pakaian bagi mereka).

Fungsi pakaian selain untuk menutup aurat adalah untuk berlindung diri dari hawa. Oleh karena itu, mereka harus kompak dan saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Posisi antara suami dan istri adalah berimbang, tetapi sebagaimana ‘organisasi’ kehidupan keluarga harus ada pemimpinnya, yaitu Sang Suami.  Tugas suami layaknya sopir, sedangkan menjadikan keluarga ‘sakinah, mawadah, wa rohmah’ adalah tujuannya.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, dengan apa-apa yang telah Allah sebagian mereka dari sebagian yang lainnya, dan dengan apa-apa yang telah mereka menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). (An-Nisa’ : 34)

Dalam ayat di atas menjelaskan keluarga secara ideal, bahwa lelaki bekerja dan menafkahi keluarganya, sedangkan seorang istri berada di rumah. Bukan berarti wanita tidak diperbolehkan untuk bekerja di luar rumah, selama mereka mampu menjaga dirinya. Jika penghasilan yang dihasilkan oleh suami lebih rendah, maka hal itu tidak menggugurkan posisi suami sebagai seorang imam keluarga, dan tidak menggugurkan kewajiban seorang istri untuk menaatinya.

Seorang istri berhak menegur suami, jika dirasa selama memimpin bahtera rumah tangga, sang suami bertindak kontraproduktif terhadap tujuan dari rumahtangga itu sendiri. Seperti Imam, ketika melakukan kesalahan, maka si makmum boleh menegur si Imam. Jika dirasa bersalah, maka suami harus menurut kata istrinya. Karena posisi Imam ini bukan posisi tanpa tanggungjawab sama sekali. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh muslim, Nabi bersabda;

“Kullu-kum roo’in wa kullu-kum mas-uulun ‘an roo’iyatihi .. wa ar rajulu roo’in ‘alaa ahli baitihi wa huwa mas-uulun ‘an roo’iyyatihi.

Setiap dari kalian adalah pemimpin dan kamu semua harus bertanggungjawab terhadap apa yang kamu pimpin. Dan laki-laki adalah pemimpin keluarganya dan dia bertanggungjawab terhadap apa-apa yang dipimpinnya. (Muslim)

Pertanggungjawaban utama seorang suami kepada keluarganya tidak hanya memberi nutrisi untuk kelangsungan hidup, tetapi tanggungjawab lebih pentingnya lagi adalah menyelamatkan diri dan keluarganya dari siksa api neraka, sebagaimana firman Allah “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka” (At Tahrim : 6). Sehingga suami harus dapat membimbing istri dan anak-anaknya kepada perbuatan yang terpuji dan diridhai oleh Allah swt. Oleh karena itu, seorang lelaki yang hendak menikah, harus berusaha merubah diri menjadi lebih baik lagi. Dan dalam kehidupan bermasyarakat kita, seorang lelaki yang telah menikah, merubah kebiasaan mereka, dari kebiasaan bergadang sampai dini hari atau menghabiskan waktu bersama teman koleganya, menjadi kebiasaan-kebiasaan yang tidak memboroskan waktu untuk bersenang-senang.

Suami ketika membimbing istri, mestinya dengan cara yang baik, lembut dan tidak dengan kekerasan. Hal ini disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw

Nasehatilah para wanita dengan baik, sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (laki-laki) sebelah kanan, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya, maka seandainya engkau berusaha meluruskannya, niscaya dia akan patah dan kalau engkau biarkan, ia akan tetap bengkok. Nasehatilah para wanita dengan baik.” (HR. Bukhari-Muslim).

Hadits di atas adalah sebuah perumpaan tentang tulang rusuk yang bengkok. Untuk meluruskan tulang rusuk yang bengkok, tidak dengan membiarkan terus menerus, karena akan tetap bengkok. Jika dipaksakan, maka tulang tersebut akan patah. Oleh karena itu, seorang suami harus menasehati dengan cara baik dan lembut, bukan dengan kekerasan atau terkesan sangat memaksa. Gambaran suami yang ideal dalam islam adalah sikap mengayomi, karena hak istri itu adalah mendapatkan perlakuan yang baik dan perlindungan dari suaminya.

Allah berfirman dalam Surat An Nisa’ 19, yaitu wa ‘aasyiruu-hunna bil ma’ruf yang artinya ‘Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik’. Maksud kata ‘ma’ruf’ di sini adalah bertindak dan melakukan dengan selayaknya. Kewajiban suami tidak hanya memberikan ‘uang’ kepada istri, sebagaiman yang banyak dipahami sebagian dari kita. Kata ‘ma’ruf’ dalam ayat di atas adalah memperlakukan istri tidak hanya pada segi materi, melainkan juga dalam hal masalah psikis. Atau dalam bahasa kita adalah ‘membahagiakan’. Sehingga tugas utama dari seorang suami adalah membahagiakan istri. Sabda Nabi;  Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)

Tradisi Islam menyebut tujuan dari keluarga dengan istilah ‘keluarga sakinah’. Hal ini merujuk pada pemakaian kata ‘litaskunu’ dalam surat Ar Rum ayat 21

وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri (manusia), supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah)kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta dan kasih sayang(mawaddah wa warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kemahaan-Nya) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar Rum : 21)

Istilah ‘litaskunu’ artinya ‘agar merasa tentram’, maksudnya adalah Allah menciptakan perjodohan agar manusia merasa tentram. Dari sini lah diambil ism menjadi sakinah. Istri merasa tentram berteduh bagi suami, begitu juga sebaliknya istri menjadi tempat tentram untuk berteduh suami. Hal ini mengingatkan kita pada Ummul Mukminin, Siti Khadijah, yang selama hidupnya menjadi tempat berteduh nabi, baik di awal pernikahan, ketika pertama kali menerima wahyu, sampai pembelaannya yang luar biasa terhadap diri rasul. Sehingga menciptakan ketenangan dan ketentraman adalah kewajiban sekaligus hak, bagi suami istri.

Istilah lainnya untuk menyebut tujuan keluarga adalah mawaddah wa rahmah. Mawaddah menurut Ibn Katsir artinya cinta atau mahabbah. Mahabbah dari kata ‘habba-yuhibbu’ atau setara dengan kata ‘love’ dalam bahasa inggrisnya. Sedangkan kata ‘Rahmah’ berarti kasih sayang, implementasi dari rahmah ini adalah saling melindungi, saling memahami satu sama lainnya, saling membantu, dan seterusnya. Sehingga ada perbedaan antara mawaddah dan rahmah.


Cukup dengan mengamalkan ketiga tujuan dari keluarga ini (sakinah, mawaddah wa rohmah), ditambah mengetahui posisi suami sebagai imam, dan istri sebagai makmum,  maka kita mengetahui bagaimana cara membahagiakan pasangannya.