Pendahuluan
Penyakit hati berbeda dengan
penyakit jasmani, meskipun keduanya menurut ilmu kedokteran terkait satu sama
lainnya. Tetapi ‘Penyakit Hati’ yang akan dibahas ini bukan penyakit yang
menyerang organ hati, seperti hepatitis, melainkan penyakit yang disebabkan
oleh karakter atau sifat, atau dalam keilmuan dinamakan ‘masalah psikis’.
Dalam Islam, masalah psikis lebih
didahulukan daripada masalah fisik (badan/jasad). Sehingga banyak anjuran dan
larangan terkait dengan kesehatan psikis seseorang. Betapa banyak ayat al
Qur’an yang memerintahkan untuk bersabar, ikhlas, tawakkal, bersyukur, dst.
Banyak juga yang melarang kita untuk berdengki, riya’, takabbur, ghibah/fitnah,
dst. Semuanya memang perlu pelatihan mental yang memang berproses.
Dasar
Pemahaman Tentang Penyakit Hati
Istilah ‘penyakit hati’ ini
disebutkan dalam al Qur’an, At Taubah ; 125
“Orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka bertambahlah
keburukan mereka dari keburukan sebelumnya, dan mereka mati dalam keadaan
kafir.
Penyakit hati jika dituruti
kemauannya, maka akan bertambah pula keburukan dan lebih parah dari sebelumnya.
Ciri demikian juga disebutkan dalam Firman Allah yang lain, seperti dalam Al
Baqoroh : 10
Dalam hati mereka terdapat
penyakit, dan Allah akan menambahkan penyakit ini pula. Dan bagi mereka siksa
yang pedih dengan apa-apa yang telah mereka dustakan.
Hati
memiliki peran yang sentral. Karena dengan hati ini pula sangat menentukan
kemampuannya dalam bercengkerama dengan orang lain. Jika hati tak sehat akan
mempengaruhi buruknya kesehatan sosiologis kita. Meski entitas ‘hati’ berada di
luar dimensi fisik, tetapi dalam perkembangannya sangat menentukan atau terkait
antara satu dengan lainnya.
Fisik yang
tidak sehat, kondisi lingkungan, factor pendidikan, gen, dan sebagainya sangat
menentukan bagaimana pola pikir seseorang. Orang yang mempunyai kemampuan
menata emosional (atau orang ber-EQ tinggi) biasanya lebih stabil dalam
menghadapi stimulasi-stimulasi dari luar, sehingga dapat menyikapinya dengan
sangat tepat.
Hati memang
mudah tergoda untuk melakukan hal-hal yang keji dan terlarang dalam agama,
kecuali hati yang senantiasa tunduk dan patuh kepadaNya. Sebagaimana firman
Allah dalam Yusuf ayat 53;
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang.
Pada ayat di
atas, ‘nafsu’ dapat diartikan lain sebagai ego, keduanya dapat merujuk pada hal
yang sama. Kecenderungan ego, selalu merujuk pada dirinya sendiri. Oleh karena
itu ia bersikap egois, apapun yang dirasa nikmat, maka akan segera ia lakukan.
Maka, nafsu (ego) akan cenderung menyuruh pada tindakan jahat. Oleh karena itu
sangat penting untuk mengetahui dan mencegahnya, agar hati kita diberi rahmat
Allah.
‘nafsu’
dalam ayat di atas adalah hawa nafsu atau keinginan seseorang. Dalam Islam terdapat
perintah untuk melakukan pengekangan terhadap hawa nafsu. Hawa nafsu dalam
kehidupan sehari-hari diwujudkan dengan keinginan-keinginan yang bersifat
pribadi. Seperti dendam, iri hati, marah, benci, dst.
Seseorang yang cenderung
tidak mampu mengendalikan keinginan-keinginan tersebut, maka ia akan selalu
mendapati dirinya benar-benar ‘tidak dapat terpuaskan’. Salah satu penyakit
hati adalah jika seseorang itu merelakan diri diperbudak oleh ‘hati’ (nafsu).
Sebagaimana
firman Allah dalam Al Jatsiyah; 23
Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan
ilmu-Nya. dan Allah telah
mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
Maksud kata ‘ilahahu’ (tuhan) adalah ‘sesembahan’
yang tidak layak disembah (yaitu hawa nafsunya). Artinya seseorang itu tidak
boleh menjadikan hawa nafsunya sebagai petunjuk apa perbuatan yang akan
dilakukannya. Jika hal demikian dilakukan, maka Allah akan menutup semua akal
sehat dan hati nuraninya.
Kesombongan
Salah satu
hal yang lazim ditemukan dalam masyarakat kita terkait penyakit hati ini adalah
‘kesombongan’. Ketika orang diberikan kelebihan nikmat dibandingkan orang
sekelilingnya, maka ia akan tergoda untuk merasa ‘ujub’ terhadap apa yang telah
dilakukannya. Ia membanggakan berapa kekayaan yang dimilikinya (dan
keluarganya), berapa banyak karyawan yang telah ia pekerjakan, dan sebagainya.
Tentang
masalah kesombongan ini, al Qur’an mengingatkan kita tentang kisah seorang
Qarun, seorang kaya raya yang hidup pada masa Nabiyullah Musa as. Seorang yang
diberikan kenikmatan, lantas sombong dan ingkar kepada Allah. Banyak ayat yang
melarang perbuatan sombong seperti dalam Surat al Isra’ ayat 37
Dan Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini
dengan kesombongan. Sesungguka kamu takkan sekali-kali bisa menembus (kedalaman
bumi) dan takkan pernah menyamai tingginya gunung.
“Sombong’
tidak hanya berupa kekayaan, melainkan juga kesombongan dalam hal
‘pengetahuan’. Banyak orang yang mengidentifikasikan masalah sombong ini mereka
‘pagari’ hanya pada pengertian orang-orang yang mampu dan orang yang memiliki
jabatan. Tetapi, kesombongan juga dapat berlaku pada kesombongan pada
‘pengetahuan’ yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka.
Banyak orang
yang ingin menjatuhkan orang lain, untuk menunjukkan dirinya lebih hebat
(pintar) daripada orang yang dijatuhkan tersebut. Model orang seperti ini
banyak kita jumpai. Orang banyak yang berbantah-bantahan, demi untuk
menunjukkan siapa paling mereka yang paling hebat (rasional). Banyak pula yang
menunjukkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan orang lain, demi mengukuhkan opini
bahwa orang yang dibicarakan sama sekali tak paham akan perbuatan.
Padahal
perdebatan ataupun upaya saling menjatuhkan sama sekali tidak menunjukkan
kualitas isi kepala. Hidup ini bukan lah kompetisi, tetapi hidup itu untuk
beribadah kepada Allah. Itu lah filosofis (pandangan) islam terhadap kehidupan
ini yang sering disalahpahami.
Iri Hati
Penyakit
hati timbul karena kurang pahamnya akan filosofis penciptaan manusia. Perlu
diingat bahwa manusia mempunyai batasan atau ‘limited’. Memang benar manusia adalah makhluk sempurna, tetapi
manusia dibuat sangat lah rentan. Secara biologis manusia sangat rentan
terserang bakteri, bakteri dan virus. Sehingga dalam An Nisa : 28, Allah
berfirman bahwa manusia diciptakan dalam keadaan sangat lemah.
Manusia tak
berkuasa terhadap apapun, dimana/kapan ia akan dilahirkan, dengan orangtua yang
mana, apa jenis kelamin kita, apa bakat kita dan bagaimana ia kelak akan
meninggal. Semua manusia dalam posisi yang sama, termasuk di hadapan Allah. Manusia
mempunyai satu kualitas yang tak dimiliki orang lain, begitu juga sebaliknya,
orang lain memiliki kualitas yang tidak kita punya.
Sehingga kita tidak boleh
mengunggul-unggulkan kelebihan kita, karena kelebihan kita (termasuk dalam hal
ini kecerdasan, kecantikan, dan kekayaan) pada hakekatnya milik Allah. Dengan
landasan berfikir seperti ini, maka kita tidak diperkenankan untuk
menyombongkan diri, atau iri terhadap apa yang didapatkan oleh orang lain.
Firman Allah dalam An Nisa’ ayat 32
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah telah
menganugerahi rizki yang berbeda-beda, dari apa yang telah dikerjakan.
Terkadang diberikan bagian yang lebih besar, meskipun jenis pekerjaan yang
dilakukan adalahsama, karena ini semua bagian sudah ditentukan oleh Allah.
Maka, untuk urusan ini, maka perbanyak lah doa kepada Allah, karena Allah
adalah Dzat yang dapat melebihkan (nikmat/bagian).
Secara
emosional, karakter satu pasti mempengaruhi karakter lainnya. Iri hati ada
sangkut pautnya dengan ‘kesabaran’. Jika tingkat kesabaran labil, maka akan
mudah terserang perasaan iri hati. Oleh karena itu dalam banyak ayat disebutkan
perintah untuk bersabar, dalam menerima apapun yang diberikan oleh Allah kepada
kita, termasuk dalam perasaan takut, kekurangan bahan makan, kelaparan,
kekurangan materi, meninggalnya orang yang kita kasihi, dan bencana musim
(kekurangan buah-buahan).
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al Baqoroh: 155)
Mengingat
kebaikan, khusnuzhon dan bersyukur adalah ‘sarana’ kita untuk mencegah sikap
dengki. Syukurilah keadaan kita diberikan mata yang normal, bandingkan dengan
orang-orang yang buta. Bersyukurlah atas kondisi kita yang sehat, dibandingkan
dengan orang-orang yang tergeletak lemah, menahan rasa sakit yang sangat
orang-orang yang ada di rumah sakit.
Bersyukur lah atas diri kita sekarang,
karena kita tak dikejar-kejar oleh hutang yang menumpuk. Bersyukurlah atas hari
ini kita diberikan beban yang ringan dibandingkan dengan orang-orang di sektiar
kita. Dengan bersyukur ini, maka akan mendorong kita untuk membantu orang lain
yang benar-benar membutuhkannya.
Tanda orang
beriman adalah orang yang dapat melihat kebaikan di semua hal. Sebagaimana
sabda Nabi Muhammad Saw:
“Aku mengagumi seorang mukmin karena selalu ada kebaikan
dalam setiap urusannya. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur (kepada
Allah) sehingga di dalamnya ada kebaikan. Jika ditimpa musibah, ia berserah
diri (dan menjalankannya dengan sabar) bahwa di dalamnya ada kebaikan pula.” (HR Muslim)
Apapun
peristiwanya, jika gagal melihat sebuah kebaikan dari setiap peristiwa, maka
akan muncul perasaan ‘, ketakutan, keputusasaan, kesedihan, dan terus menerus
akan mengganggu kestabilan emosional seseorang. Di sini kemudian muncul
penyakit-penyakit hati. Jika seseorang mempunyai perasaan bahwa ia telah gagal
menjalani hidup, maka ia harus berbesar hati, bahwa ia akan mempunyai harapan
lagi, bahwa sisa hidupnya akan ia isi dengan kebaikan, demi memperoleh ridho
Allah.
Setiap orang
mengalami rasa-rasa sulit dalam kehidupannya, yang menyebabkan ia merasa tertekan.
Bahkan tak jarang ia melampiaskannya kepada orang lain. Menjadi pribadi
pendendam (tidak memaafkan orang lain), dan mudah dihinggapi perasaan mudah
marah. Apalagi jika harapannya tidak sesuai dengan kenyataannya. Jika sesuai,
maka ia akan lupa akan nikmat Allah, tetapi jika gagal, ia akan mengeluh.
Memang begini tabiat penyakit hati, yang sangat beraneka ragam. Dan hal ini
dijelaskan dalam ayat al Qur’an.
Sesungguhnya
manusia diciptakan sangat lah lemah (19), Jika ditimpa kesusahan ia akan
berkeluh kesah, (20), dan jika didatangkan kebaikan, maka ia akan kikir (21) (Al Ma'arij : 19-21)
Pada ayat
selanjutnya diikuti dengan ‘illa
mushollin’ (kecuali orang-orang yang sholat). Jadi sholat ini tidak hanya
diartikan sebagai sholat secara fisik semata, melainkan juga sholat dalam hal
segalanya, termasuk dalam bertawakkal menerima apapun ketentuan Allah.
Bakhil, & Ghibah
Jenis
penyakit hati lainnya adalah kikir (bakhil), dan ghibah (suka bergunjing).
Penyakit kikir dikarenakan takutnya akan mengalami masa ‘paceklik’ di masa
depan. Orang kikir termasuk orang kalkulatif.
Tetapi mereka lupa memasukkan ‘catatan akhirat’ dalam sistem kalkulator mereka.
Kikir itu adalah tabiat yang hasil didikan sehari-hari. Jika penyakit ini ada,
tidak hanya diperlukan teori, melainkan juga kebiasaan. Karena sebagai tabiat,
sangat sulit untuk mengubahnya.
Kikir adalah
tanda bahwa seseorang sama sekali tak mempunyai rasa empati. Ia tak tahu
bagaimana perasaan orang lain, tidak tahu kepentingan orang lain, yang ia tahu
adalah kepentingan dan kejayaan dirinya sendiri. Orang-orang semacam ini sangat
berpotensi untuk kikir. Mereka orang yang tak mau menolong orang yang
benar-benar membutuhkannya. Pekerjaannya adalah karir, prestasi pribadi dan
kekayaan. Dalam surat At Taubah ayat 35, Allah Berfirman;
pada hari dipanaskan emas perak itu dalam
neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung
mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu."
Entah itu kikir atau ghibah adalah pekerjaan pembentuk tabiat
yang diakibatkan kurang dimiliki rasa empat terhadap orang lain.
Ghibah ini adalah model maksiat
‘terselubung’. Karena orang yang berghibah kebanyakan tidak tahu bahwa mereka
tengah melakukan dosa besar. Bahkan parahnya lagi, banyak yang menganggap
‘ghibah’ atau bergunjing ini sebagai ‘ibadah. Mereka sibuk melabeli ‘setan’
kepada orang lain, sedangkan diri mereka sendiri sebagai kumpulan ‘orang-orang
wajar’. Tak jarang, saking asyiknya
berghibah, seseorang itu berkata ‘mungkin’ untuk menambahi bumbu-bumbu, bahkan
melebih-lebihkan, agar sama-sama enak didengarkan. Sehingga jatuhnya adalah
fitnah.
Secara psikologis, orang
bergunjing dapat memuaskan andrenalin, menumbuhkan hormone endorphin (hormone yang dikeluarkan waktu keadaan
senang/santai), makanya dalam bergunjing ini mereka menemukan kepuasan diri
mereka sendiri. Tetapi di sisi lainnya, akan mematikan karakter orang lain.
Ghibah menyebabkan seorang yang tadinya tidak membenci menjadi benci. Yang
sebelumnya benci, menjadi ‘sangat benci’. Orang bergunjing akan mendapat
kesenangan, sebaliknya orang yang digunjing akan jadi korban. Allah
mengibaratkan orang berghibah seperti seseorang yang tengah menikmati makan
bangkai saudaranya sendiri. Dalam ayat al Qur’an Al Hujurat ayat 12 disebutkan;
Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari
purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.
Penyakit
‘Ghibah’ ini adalah jenis penyakit empati. Penyakit ini dapat diobat jika ia
melatih diri untuk merasakan sebagai pihak yang selalu dirugikan oleh ghibah. Ia
harus dapat membayangkan jika ia berada dalam posisi sebagai orang yang
dighibahi: “Apapun yang ia lakukan selalu buruk di mata orang lain, hingga
suatu saat ia mendapati seseorang tiba-tiba merasa tak menyenanginya, meskipun
ia sama sekali tak melakukan kesalahan apapun terhadapnya”. Konflik social
apapun, selalu diawali dengan ‘ghibah’.
Riya’
Sedangkan Riya’,
adalah model penyakit hati, dimana rasa keikhlasan atau ‘kelillahita’ala’an
kita berkurang. Ibadah atau segala amalan kita harusnya orientasinya kepada
Allah, tetapi ini orientasinya kepada orang lain. Inilah sikap riya’.
Sikap
riya’ mudah terserang kepada orang yang egosentrime atau menempatkan tujuan
kemuliaan dirinya sebagai pusatnya. Ia datang ke pengajian memakai minyak
wangi, rapi, bersih, tetapi semuanya tak ditujukan kepada Allah, tetapi
ditujukan ke lawan jenis, siapa tahu banyak yang tertarik kepada dirinya. Jadi
sikap ini sangat rentan dilakukan oleh pemuda/remaja. Bukan berarti orang tua
bersih dari sikap ini.
Kepintaran
kita seharusnya ditujukan kepada Allah, dengan memanfaatkan ilmu yang kita
miliki untuk orang banyak, kita manfaatkan/orientasikan untuk memuliakan diri
kita. Kita merasa ujub jika dibilang berprestasi, berilmu, walaupun ilmu itu
sama sekali tak kita gunakan. Kita tak berfikir ilmu itu berguna atau tidak di
hadapan Allah, tetapi kita berfikir ilmu itu kira-kira ‘keren’ atau kagak jika
dipelajari.
Dalam
sedekah juga tak lepas dari riya’, karena dengan sedekah yang dilihat banyak
orang kita akan lebih terlihat berwibawa, apalagi jika disertai dengan hardikan
kepada penerima sedekah kita, maka betapa puasnya nafsu kita, dan betapa
runyamnya hati sang penerima. Hal ini terlaknat, sebagaimana firman Allah dalam
Al Baqoroh ayat 264
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada
tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak
bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir
Allah
melabeli orang-orang riya’ dalam ayat di atas dengan ungkapan ‘kafirin’, karena
orang yang berbuat riya’ merasa tidak adanya Allah yang dapat melihat hati dan amalan mereka. Sehingga mereka bisa
berbuat sewenang-wenang. Begitu juga dengan Sholat, sholat juga salah satu
ibadah yang berpotensi riya’. Seperti misalnya sholat untuk ‘wangun-wangun’ atau demi kepantasan, itu
jelas tak boleh, karena itu sama seperti sholat dengan tujuan agar terlihat
oleh orang lain (sebagai tujuannya untuk sholat). Hal demikian terlarang,
sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Ma’un 4 - 7;
Maka celakalah bagi orang-orang
yang sholat, yaitu orang-orang yang melalaikan sholatnya, orang-orang yang
berbuat riya’ dan orang yang tidak memberi (bersedekah) harta yang berguna. (Al Ma'un 4-7)
Urusan riya;
itu adalah urusan hati, sehingga hal ini sangat sulit, kecuali jika seseorang
benar-benar melakukan sholat, yaitu sholat yang didasarkan dengan niat ‘lillahi
ta’ala’. Saking hati-hatinya ulama pada waktu lampau, mereka
menganjurkan untuk membaca dengan sir (diucapkan dengan mulut secara perlahan) ‘nawaitu fardho sholat … lillahi ta’ala’.
Agar sholat yang ia kerjakan, semata-mata karena Allah semata. Begitu juga
dengan amalan-amalan kebajikan lainnya. Karena jangan sampai, kita beribadah
kepada Allah, terselip dalam hati kita untuk melakukannya tidak demi Allah,
melainkan demi dilihat, atau agar sekedar seseorang terlihat sebagai seorang
yang ‘humanis’.
Penutup
Jenis
penyakit hati apapun karena hilangnya ‘Tauhid’ pada diri seseorang. Tauhid
artinya meletakkan Allah sebagai pusat segalanya, dan menempatkan diri hanya
sebagai hambaNya. Orang Sombong tidak merasa kemampuannya adalah pemberian
Allah dan sewaktu-waktu akan kembali pada Allah, bukan melekat abadi pada
dirinya. Orang riya’ lupa bahwa orientasi hidupnya bukan pada diri sendiri,
melainkan pada Allah, dan hilangnya rasa ikhlas lillahi ta’ala dalam dirinya.
Orang hasad lupa bahwa pemberi dan pembagi rizqi, nikmat, atau fadhilah hanya Allah semata, bukan
didasarkan pada kemauan kita. Sedangkan orang bakhil hanya ingat bahwa harta
benda secara hakiki adalah miliknya, bukan milik Allah, sehingga merasa tak
punya kewajiban untuk bersedekah di jalan Allah. Sehingga obatnya adalah
memahami dan melaksanakan Tauhidullah.
Tidak ada komentar